Foto: Ilustrasi (blog mediaannabawyy) Oleh : Ustaz Erick Yusuf Judul pil yang dimaksud di atas bukan obat melainkan, lebih menye...
Foto: Ilustrasi (blog mediaannabawyy) |
Oleh : Ustaz Erick Yusuf
Judul pil yang dimaksud di atas bukan obat melainkan, lebih
menyembuhkan atau sekaligus lebih meracuni dari pada obat, yaitu
pemilihan pejabat.
Yup, pesta demokrasi di Negara ini seakan-akan tidak pernah berhenti.
Dikarenakan banyaknya pemilihan dari tingkat Kades, Lurah, Camat,
Bupati, Walikota, Gubernur, dan yang paling dinanti-nanti Pilpres
(pemilihan Presiden).
Dan cerita pun berulang, janji-janji kembali dihadirkan lewat
selebaran, poster, spanduk, baligo. Juga harapan-harapan kembali
digantungkan oleh masyarakat-masyarakat yang menantikan kesejahteraan
yang konkret. Bukan hanya yang tercetak di majalah, Koran-koran dan yang
disiarkan di televisi.
Blusukan–kukurusukan, terjun kelapangan kembali dilakukan oleh para
pejabat dan calon pejabat entah memang tulus atau sekedar pencitraan.
Dan cerita-cerita lainnya seperti “serangan fajar”, rejeki tukang kaos,
kumpul di pesta dangdut, sampai konvoi lima puluh ribuan, coblos ganti
paket sembako dan sebagainya, dan sebagainya.
Di balik itu semua ada baiknya para calon pemimpin membaca buku At Tibr Al Masbuk fin Nasha’ih Al Muluk (mutiara dalam nasihat-nasihat untuk para penguasa), yang ditulis oleh Abu Hamid al Ghazali.
Isinya berupa nasihat dan rambu untuk para pemimpin agar tidak
melampaui batas. Setelah membahas keimanan dan ketaatan, Al Ghazali baru
memberikan 10 nasihat lebih spesifik kepada para pemimpin. Kesepuluh
nasihat itu didasari oleh berbagai dalil dalam Alquran dan hadis, juga
atas para sahabat.
Pertama, pemimpin harus mengetahui kedudukan dan pentingnya
kekuasaan. Sesungguhnya kekuasaan adalah sebagian nikmat dari Allah.
Siapa saja yang menjalankan kekuasaan dengan benar, ia akan memperoleh
kebahagiaan. Siapa yang lalai dan tidak menegakkan kekuasaan dengan
benar, ia akan mendapat siksa karena kufur kepada Allah.
"Satu hari keadilan seorang pemimpin lebih baik daripada ibadah
selama enam puluh tahun, dan jika seorang pemimpin menegakkan hukum
dengan adil itu lebih utama dari pada nikmat turunnya hujan selama
empat puluh hari." (HR. Thabrani).
Kedua, senantiasa merindukan petuah ulama dan gemar mendengarkan
nasihat mereka. Hati-hati dengan ulama yang menyukai dunia. Mereka akan
memperdayaimu, mencari kerelaanmu untuk mendapatkan apa-apa yang ada di
tanganmu. Orang yang berilmu adalah orang yang tidak menginginkan
hartamu, dan orang yang senantiasa memberimu wejangan serta petuah.
Ketiga, janganlah merasa puas dengan keadaanmu yang tidak pernah
melakukan kedzaliman. Lebih dari itu, didiklah pembantu, sahabat,
pegawai dan para wakilmu. Janganlah engkau tinggal diam melihat
kezaliman mereka, karena sesungguhnya engkau akan ditanya tentang
perbuatan zalim mereka sebagaimana akan ditanya tentang perbuatan
zalimmu.
Keempat, kebanyakan pemimpin memiliki sifat sombong. Salah satu
bentuk kesombongannya adalah bila marah, ia akan menjatuhkan hukuman.
Kemarahan adalah perkara yang membinasakan akal, musuh dan penyakit
akal. Kemarahan merupakan seperempat kebinasaan.
Kelima, sesungguhnya pada setiap kejadian yang menimpa dirimu, engkau
mesti membayangkan bahwa engkau adalah salah seorang rakyat, sementara
selain dirimu adalah pemimpin. Dengan itu, apa yang tidak engkau ridha
bagi dirimu sendiri, tidak pula akan diridhai oleh salah seorang
Muslim.
Keenam, Janganlah engkau memandang rendah orang-orang yang memiliki
kebutuhan yang menunggu di depan pintumu. Hati-hatilah terhadap mereka.
Manakala salah seorang Muslim memiliki kebutuhan terhadapmu, janganlah
engkau malah tidak memperdulikan mereka karena sibuk dengan
ibadah-ibadah sunnah. Sebab, memenuhi berbagai kebutuhan kaum Muslim
adalah lebih utama daripada menunaikan ibadah-ibadah sunnah.
Ketujuh, janganlah engkau membiasakan dirimu sibuk mengurusi berbagai
keinginan seperti ingin pakaian kebesaran atau memakan makanan yang
lezat. Akan tetapi, hendaklah engkau bersikap qana’ah (keseimbangan
dalam harta, tidak boros dan tidak kikir) terhadap seluruh perkara.
Sebab, tidak akan ada keadilan tanpa sifat qanaah.
Kedelapan, sesungguhnya engkau, jika memang mampu melakukan setiap
urusan dengan penuh kasih saying dan kelemah lembutan, maka janganlah
melakukan dengan kekerasan dan sikap kasar.
Kesembilan, hendaklah engkau berupaya dengan sungguh-sungguh untuk
meraih keridhaan rakyatmu melalui cara-cara yang sesuai dengan syariah.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mencintai kalian dan kalian
mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan
mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci
mereka dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknati mereka dan
mereka pun melaknati kalian.” (HR. Muslim).
Kesepuluh, janganlah engkau mencari keridhaan seorang manusia melalui
cara-cara yang bertentangan dengan syariah. Mu’awiyah menulis surat
kepada Aisyah ra agar memberikan nasihat dengan nasihat yang singkat.
Maka, Aisyah menulisnya: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: Siapa
saja yang mencari keridhaan Allah walaupun manusia marah kepadanya, maka
Allah akan ridha kepadanya, demikian pula manusia akan ridha kepadanya.
Siapa saja mencari keridhaan manusia dengan cara dimurkai Allah, maka
Allah akan murka kepadanya, demikian pula seluruh makhluk akan marah
kepadanya.”
Semoga para pemimpin dan calon pemimpin, membaca dan mendengar
nasihat ini, sekaligus melaksanakannya. Dan karenanya Negri ini akan
menjadi Negri yang "Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur". (Negeri sejahtera yang senantiasa dalam pengampunan Allah). Aamiin.
Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi Allah adalah yang mengamalkannya.
Sumber : Republika