HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Penembakan di Aceh Terkait Pilkada

Rangkaian penembakan di Aceh yang melibatkan Jamaluddin alias Dugok merupakan delik politik dan bersifat pidana biasa yang terkait dengan ...

Rangkaian penembakan di Aceh yang melibatkan Jamaluddin alias Dugok merupakan delik politik dan bersifat pidana biasa yang terkait dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). 

Jadi, bukan tindakana terorisme. Pengacara menilai jaksa terlalu berlebihan karena mendakwa Dugok dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Demikian, antara lain, isi nota keberatan (eksepsi) kuasa hukum terdakwa Jamaluddin alias Dugok, Aslaudin dan Akhyar SH dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (24/9/2012). 


“Tindakan terdakwa merupakan tindak pidana politik dan berhubungan dengan pemilukada. Perbuatan pidana tersebut dimaksudkan untuk mengubah tertib hukum dengan harapan keadaan menjadi lebih baik,” kata Aslaudin. 


Dijelaskan pula, motif terdakwa melakukan itu terkait dengan masalah ekonomi antara mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Kepala Pemerintah Aceh yang ketika itu dijabat Irwandi Yusuf. 


“Terdakwa merasa terzalimi, karena tidak ada kerja yang diberikan oleh Irwandi Yusuf,” kata Aslaudin. Selain menyatakan keberatan dengan penerapan UU Tindak Pidana Terorisme, tim kuasa hukum Dugok juga menyebutkan dalam eksepsinya bahwa uraian dakwaan jaksa tidak jelas (kabur). 


Terkait dengan kepemilikan senjata api, menurut kuasa hukum, memang diakui sebagai sesuatu yang salah, tapi seharusnya cukup dikenakan pasal KUHPidana dan Undang-Undang Darurat saja. 


“Intinya kami keberatan terhadap dakwaan jaksa yang mengaitkannya dengan tindak pidana teroris. Ini pidana biasa yang terkait pemilukada,” kata Akhyar, tim kuasa hukum terdakwa lainnya. 


Menanggapi eksepsi kuasa hukum terdakwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Andi Muldani F menyatakan, dakwaan menggunakan UU Tindak Pidana Terorisme sudah tepat, karena perbuatan terdakwa telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara massal (massif). 


“Korbannya juga banyak, yang kebetulan berasal dari salah satu etnis,” tangkis Andi Muldani. Jaksa akan menyampaikan tanggapan terhadap eksepsi kuasa hukum terdakwa pada sidang lanjutan Senin, pekan depan. Sebelumnya, JPU mendakwa Jamaluddin alias Dugok dengan dakwaan berlapis, yaitu melanggar Pasal 15 juncto/jo (berhubungan dengan) Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 


Terdakwa juga dibidik jaksa dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 340 KUHPidana jo Pasal 65 KUHP, Pasal 15 jo Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 15 jo Pasal 9 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 1 ayat (1). Tak cuma itu. 


Terdakwa juga dibidik dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Amunisi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, atau 20 tahun penjara. Pada hari yang sama, PN Jakarta Pusat juga mulai mengadili terdakwa lainnya, Usria alias Us bin Ilyas dan Muhammad Sulaiman alias Ulee Bara dalam berkas terpisah. 


Keduanya didakwa ikut serta dalam peristiwa penembakan buruh perkebunan di PT Satya Agung, Desa Uram Jalan, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, dan rencana pembunuhan Irwandi Yusuf dengan cara peledakan bom pipa di Geureute, Aceh Besar. 


JPU Suroyo dan Andi Muldani F mendakwa keduanya dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme. Usria disebutkan bertindak sebagai pengemudi mobil yang membawa terdakwa lainnya, yakni Kamaruddin alias Mayor, Jamaluddin alias Dugok, dan Ayah Daruet (masih buron) menuju lokasi perkebunan PT Satya Agung. 


Peristiwa tersebut mengakibatkan tiga warga asal Pulau Jawa yang merantau ke Aceh, meninggal dunia. Rapat-rapat membahas rencana penembakan itu, antara lain, berlangsung di rumah Sulaiman (Ulee Bara). 


Sulaiman sendiri urung pergi ke perkebunan untuk mengeksekusi, karena mendadak sakit. Peran lain yang dimainkan Sulaiman adalah mengantarkan Usria dan rombongan pimpinan Ayah Banta sampai ke Beureuneuen dengan tujuan ke Banda Aceh untuk melakukan serangkaian kekacauan, termasuk rencana pembunuhan Gubernur Irwandi Yusuf. 


Dari Beureuneuen, Sulaiman kembali ke Lhokseumawe, karena ibunya sakit. Jaksa menerangkan, Usria bukan eksekutor pada peristiwa PT Satya Agung. “Ia yang menyetir mobil dan mendrop kawan-kawannya di lokasi perkebunan,” kata Jaksa Suroyo. 


Rencana pengadilan Fikram bin Hasbi alias Ayah Banta yang diduga menjadi otak pelaku penembakan warga Jawa di Aceh para akhir tahun 2011, batal dilaksanakan Senin (24/9) kemarin di Pengadilan Negeri Jakarata Pusat. 


Penyebabnya, Ketua Majelis Hakim, Ahmad Rivai SH berhalangan hadir, karena anggota keluarganya meninggal dunia. 


Sidang akhirnya ditunda Senin pekan depan. Padahal, Ayah Banta selaku calon terdakwa sudah tiba di pengadilan tersebut dengan pengawalan ketat aparat kepolisian bersenjata.  


Ayah Banta tiba sekitar pukul 10.00 WIB mengenakan pakaian tahanan warna oranye dan topi haji warna putih. | Serambinews.com | Ilustrasi |  Foto | google