SYAWALUDDIN | SUARA TAMIANG jur_nalist@yahoo.com Desa Sapta Marga dan Tualang Baru, terletak di Kecamatan Manyak Payed; 15 kilome...
SYAWALUDDIN | SUARA TAMIANG
Desa Sapta Marga dan Tualang Baru, terletak di Kecamatan Manyak Payed;
15 kilometer arah barat kota
Karang Baru, Ibukota Kabupaten Aceh Tamiang, tiba-tiba sontak, menjadi bahan cibiran
pejabat, ‘pengamat’ tak tertinggal juga masyarakat.
Betapa tidak, seyogiyanya tanah 22,2 hektar milik Negara, dibeli oleh
Negara dan dibayarkan kembali oleh Negara, lahan peruntukkan pembangunan Gedung
Politeknik. Nilainya sangat fantastis, Rp.31,5 miliar yang dibayar Negara
kepada salah satu keluarga pengusaha di Aceh Tamiang.
Anehnya, lahan perkebunan yang berstatus tanah negara di Desa Satpta
Jaya dan Tualang Baru, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang, bisa menjadi
milik pribadi keluarga pengusaha Hamdan Sati di Aceh Tamiang.
Legalitasnya; dibuktikan dengan sertifikast dari Badan Pertanahan
Nasional (BPN) tahun 2007. Seluas 22,2 hektare (Ha); kini dijual ke
Pemkab Aceh Tamiang peruntukkan pembangunan kampus Politeknik.
Hasil investigasi STC; tanah itu terletak tepat di samping Batalyon
Infanteri (Yonif) 111/KB Tualang Cut, Aceh Tamiang. Didalamnya kurang lebih 2
hektar terdapat tanaman kelapa sawit yang telah berumur 15 – 25 tahun, seperti
tak terurus dan tidak produktif lagi.
Kontradiktif dengan tanah yang dibeli Pemko Langsa, beberapa waktu lalu;
peruntukkan Universitas Samudera Langsa di desa Cot Kala, seluas kurang lenih 50
hektar, Cuma seharga Rp.5 miliar yang diplot dari dana Anggaran Pembangunan dan
Belanja Aceh (APBA). Sangat mengejutkan bukan?...
Suatu kebijakan tedeng aling-aling, tanpa mempersoalkan kepentingan
hajat hidup orang banyak, betapa tidak; bersebelahan dengan tanaman sawit tua
itu, ada lapangan bola kaki milik warga Desa Sapta Jaya juga terdapat
sawah warga yang saat ini sawah tersebut merupakan lahan produktif.
***
Milik Koperasi
Anehnya, semuanya diklaim masuk dalam areal lahan seluas 22,2 Ha yang
diperuntukkan pembangunan gedung kampus Politeknik. Hasil monitoring Lembaga
Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) dengan pemuka masyarakat Manyak Payed, bahwa
lahan yang saat ini menjadi milik pribadi Hamdan Sati tersebut sebelumnya
merupakan milik Koperasi Pegawai Negeri Sipil.
pada masa pemerintahan Keresidenan Ibnu Sakdansaat menjabat
sebagai Bupati Aceh Timur tahun 1951-1953.
Ada ketidak pastian jika lahan yang dulunya berjumlah ribuan hektare itu
bisa beralih menjadi milik PT Nilam Wangi dan di dalamnya terdapat nama anak
Ibnu Sakdan, selanjutnya kapling tanah itu dijual kepada pengusaha Sakti
sekitar tahun 70-an.
Jejak berliku itu dijabarkan, saat Bupati Aceh Timur dipimpin Zainuddin
Mard terjadilah tukar guling lahan antara Pemkab Aceh Timur dengan Kodam
Iskandar Muda. Pemkab Aceh Timur membeli lahan perkebunan Milik Pak Sakti, saat
itu peruntukkan Kodam Iskandar Muda sebagai bentuk sumbangsih pemerintah membangun
Batalyon.
Dan asrama tentara yang ada di belakang Pendopo Bupati Aceh Timur di
Kota Langsa menjadi milik Pemkab Aceh Timur. Saat Ishak Juned menjabat Camat
Manyak Payed (PJ Bupati Aceh Tamiang setelah pemekaran) dan Teuku Murdani
menjabat Kepala BPN Aceh Timur, keduanya mau membagikan tanah negara
tersebut kepada warga yang disertai dengan disertifikat karena lahan tersebut
tidak masuk HGU lagi.
Perselisihan terjadi antara pemerintah dengan warga setempat, mengingat
ada warga yang telah memiliki sawah satu hektare setengah dan ada yang memiliki
lahan satu hektar tidak mau disertifikat. Mereka keberatan kalau BPN membagi
rata lahan sawah tersebut.
Penelusuran lain yang di dapat STC; tanah tersebut merupakan HGU
Belanda. Setelah habis masa pakainya, tidak diperpanjang lagi izinnya.
Jika dilihat, sebagian besar lahan tersebut menjadi sawah yang digarap warga
dan sudah dikelola puluhan tahun.
”Yang saya herankan; pada tahun 2007 tanah itu bisa ber-sertifikat dari
BPN bahwa tanah seluas 22,2 hektare milik delapan warga,
tujuh di antaranya milik keluarga pengusaha Hamdan Sati, salah satu pemilik
Perusahaan Perkebunan PT Mapoliraya, bisa dikuasai”. Kata Sayed Zainal MSH Dir.
Eksekutif LembAHtari.
Seperti nama nama yang tercantum dalam sertifikat tersebut yakni Dedy
Fadlullah (22.090 M2), Hj Nuriah (19.728 M2), Nurhayati (19.633 M2), Boy
Hermansyah (19.803 M2), Hamdan Sati (103.447 M2), H Nurmansyah SD (14 391M2),
Nuriah (17.249 M2), dan Azmain (5.862 M2 ), dengan total luas 22,2 hektare.
Malah sebaliknya; Status tanah negara tersebut diakui Kabag
Pemerintahan Aceh Tamiang, Sepriyanto, karena pada sertifikat tercantum
alas hak, tanah negara. Diluar dugaan koq…tanah tersebut dijual lagi kepada
Pemkab Aceh Tamiang, padahal statusnya sudah jelas.
Tak tanggung-tanggung, harganyapun sangat pantastis Rp 31,5 miliar
lebih dengan luas 22,2 hektare. Harga yang dinilai terlalu mahal dan proses
keluar sertifikat tanah untuk pribadi, menjadi tanda tanya warga di Aceh
Tamiang.
Lanjut Sayed; jika lahan itu milik negara, seharusnya Pemkab Tamiang
tidak perlu membeli tanah negara lagi. Notabenenya memang milik pemerintah.
Jika pun sudah menjadi milik pribadi, harganya juga terlalu mahal.
Buncah demi buncah; korupsi lahan politeknik itu mulai terkuak masuk
kekantong-kantong pejabat tak bermoral, hingga menimbulkan tanda Tanya besar
serta sorotan warga, mengapa harus memaksakan diri membeli dengan harga
demikian?... Bukankah banyak lokasi lain yang strategis dan bernilai ekonomis?...
Harga Mengacu Pertimbangan dan
Letak
Seperti dituturkan Kabag Pemerintahan Aceh Tamiang Drs Sepriyanto
mengemukakan bahwa; proses pengadaan
tanah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati, kemudian panitia melakukan
sosialisasi kepada Datok Penghulu, Camat, serta pemilik tanah, bahwa akan
dilakukan pembebasan tanah untuk sekolah Politeknik.
Selanjutnya, panitia melakukan inventarisir status kepemilikan tanah,
luasnya, dan isi dalam lahan yang dibebaskan. Baru kemudian dilakukan
musyawarah penetapan harga. Dalam proses musyawarah tersebut pemilik mengajukan
penawaran harga Rp 200 ribu per meter. Namun, kata dia, dalam
menentukan harga panitia dan tim independen memperhatikan permohonan
pemilik tanah, NJOP, dan harga pasaran setempat.
“Menurut datok harga terakhir tanah di Desa Sapta Marga Rp 175 ribu,
akhirnya berdasarkana pertimbangan letak, nilai ekonomi, tawar menawar dipukul
rata harga tanah Rp 142 ribu per meter,” ujarnya. Dijelaskan, untuk 22,2 Ha
lahan uangnya sebesar Rp 31,5 miliar lebih, sudah termasuk pajak di dalamnya.
Setelah itu dilaporkan kepada bupati dan ditetapkan berdasarkan harga
‘kesepakatan’ tersebut. Dana pembebasan tanah bersumber dari APBA sebesar Rp 33
miliar. Sepriyanto juga membantah tudingan pengadaan tanah yang dilakukan
Pemkab Tamiang tidak transparan, karena semuanya dilakukan melalui proses dan
sosialisasi kepada datok dan pemilik tanah. “Tidak ada mekanisme pengadaan
tanah harus diumumkan di media,” ujarnya.
Fakta lapangan lainnya, saat ini hasil produksi perkebunan sawit yang
paling bagus milik PT. Socfindo. Untuk satu hektare lahan milik perusahaan
tersebut menghasilkan sawit 30 ton per hektare per tahun. Jika harganya Rp
1.000/kg, maka satu hektare uang yang didapat Rp 30 juta per tahun.
Jika luasnya 22 Ha x 25 tahun (masa HGU habis), jumlah
uangnya sekitar Rp 16,5 miliar. Artinya, jika lahan tersebut dibeli
dengan harga Rp 31,5 miliar dengan sawit yang berkualitas di dalamnya,
maka modal Rp 31,5 miliar tidak akan pernah kembali meskipun kita memanen sawit
produktif itu selama 25 tahun. Jika pun harga sawit dinaikkan menjadi Rp
2.000, maka uang yang akan kembali selama 25 tahun hanya Rp 33 miliar.