Pemerintah Kota Banda Aceh mengeluarkan larangan untuk pagelaran seni liong dan barongsai untuk memeriahkan peringatan tujuh tahun perd...
Pemerintah Kota Banda Aceh mengeluarkan larangan untuk
pagelaran seni liong dan barongsai untuk memeriahkan peringatan tujuh tahun
perdamaian Aceh. Pelarangan itu beralasan karena penampilan barongsai akan
menodai kesucian bulan suci Ramadan 1433 H.
Sejatinya, pertunjukan khas warga Tionghoa ini akan digelar
pada 13-15 Agustus 2012. Namun akibat adanya larangan tersebut, pertunjukan
budaya yang digelar Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perdamaian itu ikut
tertunda. Larangan itu dikeluarkan Pemerintah Kota Banda Aceh melalui surat No
450/0892 tertanggal 10 Agustus 2012, yang ditandatangani oleh Plt Walikota
Banda Aceh Teuku Saifuddin TA.
Dalam surat
itu, Plt Walikota menyatakan, penampilan liong dan barongsai bertentangan
dengan Seruan Bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah poin 9 dan 10. Dalam
seruan itu disebutkan, warga yang bukan beragama Islam dan berdomisili di Aceh
agar menghormati pelaksanaan ibadah puasa.
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perdamaian memprotes
keputusan Plt Walikota Banda Aceh T Saifuddin T.A. tersebut. Mereka menilai
larangan ini aneh. Sebab sebelumnya, Wakil Walikota Banda Aceh Illiza Saaduddin
Djamal menyatakan mendukung pertunjukan budaya etnis Tionghoa itu dalam
memperingati perdamaian Aceh.
“Anehnya, saat iIbu Illiza tidak di tempat, Sekda Banda Aceh
mengeluarkan surat
penundaan kegiatan, hanya karena ada kegiatan pagelaran liong dan barongsai,”
kata Ketua Panitia Kegiatan Kampanye Perdamaian Azriana dalam konferensi pers
di kantor Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perdamaian, Minggu (12/8) sore.
Menurut Azriana, pelarangan ini sebagai bentuk intoleransi
Pemko Banda Aceh terhadap keberagaman kebudayaan. “Ini alasan yang tidak logis
dan menunjukkan sikap intoleran Pemko Banda Aceh,” ujarnya.
Azriana menyebutkan, dalam surat pelarangan itu, Walikota Banda Aceh
menyebutkan bahwa pagelaran liong dan barongsai dapat menodai kesucian bulan
Suci Ramadan. “Saya tidak mengerti jalan berpikir orang-orang yang menganggap
kesenian ini menodai bulan Ramadan,” kata dia.
Seharusnya, kata Azriana, pemerintah memberikan kesempatan
kepada etnis minoritas di Aceh untuk menampilkan seni-budaya mereka dan
terlibat dalam perdamaian. “Bukankah perdamaian miliki semua masyarakat Aceh,
apa pun agamanya,” sebut Azriana.
Mengapa harus dilarang warga non-muslim menyampaikan
pandangannya terhadap perdamaian?”
Selain menampilkan liong dan barongsai, kampanye perdamaian
juga akan diisi dengan pementasan rapai Pase, seudati, dan sejumlah kesenian
tradisional lainnya, selain bazar, pasar murah, mimbar harapan, senin rebana,
hikayat perdamaian, dan tausiyah Ramadan. | Acehkita