HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Inilah Siasat Myanmar untuk Usir Rohingnya

Muslim Rohingya di Myanmar terus menerus mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah Myanmar. Ribuan orang telah menjadi korban pembu...

Muslim Rohingya di Myanmar terus menerus mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah Myanmar. Ribuan orang telah menjadi korban pembunuhan oleh sekelompok orangyang didukung militer Myanmar (dulu bernama Burma).

Pemerintah pimpinan Presiden Thein Sein berdalih mereka bukanlah warga Myanmar sehingga layak mendapat perlakuan seperti itu. Ketika mendapat tekanan dari dunia, Myanmar berdalih bahwa pihaknya tidak diskriminatif dan kehadiran etnis lain bukan masalah.

Mereka berdalih mau mengakui Rohingnya sebagai warga Mynmar, hanya kepada mereka yang sudah berdiam di wilayah itu sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Persoalannya, siapa yang bisa menunjukkan seseorang sudah berdiam di sana sebelum 1948 karena selama ini tidak ada catatan mengenai status mereka, meskipun sebenarnya mereka sudah berada di sana sejak sebelum 1948.

Itu tentu tidak terlepas dari sejarah yang menyertainya. Rohingnya adalah kelompok Muslim yang mendiami wilayah Rakhine di Myanmar Selatan. Berdasarkan catatan sejarah, keberadaan mereka berawal dari kehadiran pedagang Arab Muslim yang berdiam di sana pada abad ke-7.

Sejak saat itu, wilayah Rakhine dihuni oleh banyak pendatang yang berdagang, termasuk dari Bengali di Bangladesh. Berabad-abad kemudian, banyak pendatang Muslim yang menetap di sana, termasuk keturunan dari Bengali. Hal itu terus berlangsung hingga setelah kemerdekaan Myanmar pada 1948.

Berdasarkan hukum yang berlaku di Myanmar, warga negara Myanmar adalah mereka yang sudah berdiam di wilayah itu sebelum 1948. Sedangkan mereka yang datang sesudahnya dianggap sebagai pendatang haram.
Undang-undang inilah yang dijadikan siasat oleh Mynamar untuk mengusir orang-orang Rohingnya.

Masalahnya, tidak ada catatan yang menunjukkan siapa yang berhak menjadi warga negara dan yang bukan. Kini, semua Rohingnya dipandang sama. Mereka yang berhak menjadi warga negara pun berbaur dengan yang dianggap ilegal dan sama-sama mendapat tekanan dari pemerintah Myanmar.

Akibatnya, banyak orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak era 1980-1990, termasuk mereka yang seharusnya berhak menjadi warga negara Myanmar. Ini dilakukan karena mereka juga mendapat siksaan dan perlakuan yang sama dengan Rohingya lainnya.

Kelompok masyarakat yang mayoritas beragama Budha enggan menerima mereka dan memperlakukan Rohingya dengan buruk. Pembantaian dilakukan oleh kelompok yang mendapat suplai senjata dari militer. Bahkan, sebuah kelompok pelindung hak asasi manusia menyebutkan, aparat keamanan juga terlibat dalam penyerangan yang terjadi sejak Juni 2012.

Kebencian kelompok Budha terhadap sudah berlangsung lama. Bahkan berdasarkan catatanImages Asia: Report on The Situation for Muslims in Burma, Mei 1997 terdapat upaya sejumlah kelompok untuk menebar kebencian kepada Muslim. Alasannya, bukan tidak mungkin suatu saat Muslim akan menguasai Burma.

Itu antara lain terlihat dari sebuah pamplet yang menyatakan, “....Malaysia dan Indonesia pernah menjadi negara Budha dalam sejarah, namun sayangnya kelompok Muslim menerapkan metode untuk mengembangkan agamanya dan berhasil sehingga Malaysia dan Indonesia menjadi negara Muslim; Budha hilang dari negara tersebut.... Karena itu, empat tujuan pemerintahan Burma (State Law and Order Restoration Council/SLORC) harus ditegakkan. ...

Empat tujuan yang dimaksud adalah, pertama, menegakkan moral dan etika, Kedua, memelihara budaya, warisan sejarah, rasa kebangsaan (Burma) dan karakter nasional. Ketiga, menegakkan patriotisme, Keempat, menerapkan solidaritas dan standar pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Kebencian itu sudah berlangsung lama dan hanya tinggal menunggu waktu untuk terjadi lagi penganiayaan terhadap Muslim Rohingnya. “Banyak prasangka, rasisme laten, atau apapun namanya, terhadap kelompok Rohingnya di dalam Myanmar dan sedang terjadi saat ini. Ini sulit dihilangkan, ini sudah menjadi semacam bom waktu dan bisa meledak setiap saat,” ujar Brad Adam dari Human Rights Watch.

Sementara itu, pemerintah Myanmar tetap berdiam diri dan seolah-olah menganggap tidak terjadi apa-apa. PBB juga terlambat menyatakan sikapnya dan baru setelah jatuh korban, PBB mengeluarkan seruan untuk menurunkan tim investigasi. ** disarikan dari berbagai sumber [tjs]