SYAWALUDDIN | SUARA-TAMIANG.COM Jur_nalist@yahoo.com Banyak produk kebijakan dihasilkan pemerintah memunculkan sengkarut dalam p...
Banyak produk kebijakan
dihasilkan pemerintah memunculkan sengkarut dalam persfektif masyarakat konsumen
di Aceh Tamiang (Atam). Sebut saja rekomendasi yang diberikan oleh Bupati Atam
Abdul Latief kepada perusahaan perkebunan dan pertambangan menuai resah.
Agaknya rekomendasi yang
dikeluarkan Abdul Latif, sarat dengan bau pundi-pundi rupiah, kerap menguntung
kelompok-kelompok tertentu, tanpa harus melihat berbagai aspek kepentingan
masyarakat. Asal seluruh kepentingan itu bisa dibalut dan ditutup dengan uang.
Persoalan demi persoalan
mulai muncul kepermukaan, juntrungnya membawa orang nomor satu di Atam ini,
kepada persoalan hukum. Sebab seluruh produk yang dikeluarkan hanya sebatas di
belakang meja, bukan hasil monitoring dan investigasi lapangan.
Mampukah; rezim Abdul Latif
tak bergeming dari jeratan hukum, apakah di akhir masa jabatannya ini, merupakan
awal kehancuran perahu yang di nakhodai Abdul Latif cs ?...dan menduduki
singgahsana hukum ?... tak tahu lah.
Hasil survey dan monitoring
Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) membuktikan bahwa kebijakan prestise
Drs H Abdul Latif pada bulan Agustus 2012 ada beberapa masalah kebijakan
berkaitan sumber daya hutan; dinilai ada indikasi rekayasa dan kolusi
arahnya tindak pidana korupsi.
Ini dibuktikan saat
menerbitkan rekomendasi dan ijin tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan
potensi konflik warga penerima dampak. “ini semua kebijakan selalu berlawanan
dengan kamaslahatan ummat, sangat berdampak kepada munculnya kekuatan civil
society untuk melawan pemerintah”, tegas Sayed Zainal Dir. Eksekutf LembAHtari.
Menurutnya, berdasarkan
data dan fakta peran terbesar masalah terletak di Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Aceh Tamiang (Dishutbun) dengan dukungan dari Bupati Atam yang
dinilai sangat asal-asal.
Sayed mencotohkan;
perusakan kawasan hutan produksi di Kecamatan Tamiang Hulu – Bandar Pusaka dan
Sekrak. Dalam hitungan tahun 2011 smpai pertengahan 2012 berdasarkan data
lapangan dan Peta Citra Satelit, perubahan tutupan lahan mencapai lebih kurang
4000 hektar.
Itu semua peruntukkan
tanaman perkebunan Kelapa Sawit secara illegal, belumlagi di wilayah hutan
mangrove (di pesisir Atam) khususnya di kecamatan Seruway, Bendahara, Banda
Mulia dan Manyak Payed. Namun dari Pemkab Atam tidak ada upaya penghentian.
“Sangat tragis dan
prihatin; berdasarkan hasil pendalaman LembAHtari, pemberian ijin pemanfaatan
hutan kemasyarakat (HKM) seluas lebih kurang 3350 hektar di sekitar Kecamatan
Tamiang Hulu (SK. Bupati N0.443/2012 tanggal 22 Juni 2012) diberikan kepada
Koperasi yang tidak pernah ada melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT)”. Katanya.
Sayed menambahkan, Koperasi
setelah mendapat SK Bupati, terhitung sejak tahun 2005 sampai 2011, bahkan ada
indikasi Koperasi mengadopsi dan memanipulasi data kelompok tani tahun 2000,
seakan-akan pernah ada yang dihubungkan dengan DIN HKM yang bermaslah melakukan
eksploitasi kayu log tahun 2000.
Dan ini diduga ada
keterlibatan pimpinan Dinas Kehutanan dan anak-anak petinggi Atam, LembAHtari
juga menemukan indikasi gratifikasi (suap) dalam rangka penerbitan rekomendasi
untuk pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI) hutan mangrove di 4 kecamatan
pesisir Atam kepada perusahaan PT Bina Bakau Usaha (BBU) yang didirikan tahun
2008 di Atam seluas 9.200 hektar.
Pihak BBU hanya mengantongi
Akte Pendirian perusahaan, tanpa ijin-ijin lainnya, kepada Dishutbun dan Bupati
Atam pada tanggal 23 September 2008 dan tanggal 08 Oktober 2008 (Surat Nomor
522/1958/2008 dan Surat Bupati Nomor 500/2094/2008) menerbitkan dukungan.
LembAHtari menghimbau
kepada Kepala Dishutbun Atam dan Bupati harus bertanggung jawab apabila timbul
konflik dan masalah lingklungan, bahkan ada indikasi program Hutan
Kemasyarakatan ingin memanfaatkan dana APNK – APBA dan APBN dengan mengatasnamakan
masyarakat. (***)