Oleh: M. Hamzah Hasballah DIA seorang lelaki. Ia orang besar. Bisnisnya berjalan lancar. Namun sayang, pada suatu ketika, ia harus...
Oleh: M. Hamzah Hasballah
DIA seorang lelaki. Ia orang besar. Bisnisnya berjalan
lancar. Namun sayang, pada suatu ketika, ia harus meringkuk di balik penjara.
Kecoak dan tikus kelak menjadi sahabatnya. Ia, adalah Pak Rektor. Namanya Prodo
Imitatio, Rektor University of Zuzulapan, di Amarakua.
Dok. Teater Rongsokan
Gaya Pak Rektor yang satu ini sedikit nyentrik dan kocak.
Beda dengan para pejabat pada umumnya. Ia tak mengenakan baju. Celana pendek,
sepatu PDL tentara. Menenteng koper besar, dengan seikat berkas lain yang ia
jinjing, dibungkus dalam selembar kain. Isinya, buku-buku. Toga dengan topi
kebesaran wisudawan dibungkus serta. Lain itu, ada helm, hingga bantal.
Tak perlu heran dengan ulah Pak Rektor. Ini, adalah sebuah
sandiwara. Kata Pak Rektor, sandiwara ini, berkisah tentang negeri yang
pendidikannya berseri-seri, di tempat orang-orang yang penuh nafsu pada gelar,
terutama, gelar sarjana.
Masuk panggung sandiwara, Pak Rektor langsung menyapa,
layaknya penjual obat keliling “Ayo, dipilih, dipilih. Yang jauh mari merapat,
yang rapat mari mendekat. Ini obat bukan sembarang obat. Sakit panu, panu
hilang. Sakit kurap, kurap hilang. Sakit kepala, kepala hilang.”
“Mau gelar, S-1 ada, S-2, es teler, S-3, semua ada.”
Siap berkata demikian, Pak Rektor membuka koper. Ia
mengenakan toga dan mulai memperkenalkan diri dan maksud tujuannya.
“Panggil saya, Prodo Imitatio,” katanya.
“Baiklah,” Rektor Prodo mulai berkisah.
“Baiklah. Saudara-saudara, jangan terkejut,” ujar Pak
Rektor. Ia mengatakan, ketika manusia, penduduk negeri ini kian bernafsu akan
gelar kesarjanaan, muncullah dia, sebagai seorang dewa penolong. “Saya siap
memberi gelar kepada siapa saja. Tentu segala sesuatunya harus diselesaikan
dengan sejumlah uang, dan wisudanya nanti di hotel berbintang,” ulasnya
terkekeh.
“Anda mau,” ia bertanya ke sisi kiri. Sesaat kemudian
mengajukan pertanyaan yang sama ke mereka yang menumpuk di tengah, dan di
sebelah kanan. “Pasti anda mau. Tapi jangan disini. Terlalu banyak orang.
Sebaiknya kita selesaikan nanti dibelakang,” ucapnya.
Tepuk tangan, membahana.
***
Ini adalah sandiwara panggung, yang dipentaskan Komunitas
Teater Mahasiswa (KTM) Rongsokan, Sabtu (9/6) malam, di akhir pekan lalu.
Prodo, diperankan oleh Mulia Mardi. Naskah karya Arthur S Nalan ini, di
sutradarai T. Zulfajri, aktor senior, KTM Rongsokan.
Penyusunan konsep permainan, patut diacungi jempol. Tejo,
panggilan akrab T. Zulfajri, menggubah karya tulis fiksi ini, kedalam permainan
seni tutur. Bayangkan, ada sebuah bantal, yang ditepuk, sambil menyanyikan
dialog naskah, layaknya sebuahhikayat yang biasa dimainkan oleh PMTOH.
“Dari naskah tersebut, kita mengkonsepkannya untuk kemudian
kita tampilkan dalam kultur ke-Acehan. Dimana kita memainkan dalam bentuk seni
tutur. Kita menggarapnya semacam sebuah hikayat, atau trobadur, yang biasa
dimainkan oleh PMTOH” ujar Tejo seusai pementasan malam itu, di Aula Wisma
Kompas, Darussalam.
Muksalmina, salah satu penonton, juga tak menduga, naskah
yang diciptakan oleh penulis yang bukan berasal dari Aceh ini, mampu disulap
kedalam bentuk, konsep ke-Acehan. “Luar biasa, saya tidak menyangka bisa sampai
seperti itu. Riset dari sutradara, untuk membawa permainan dalam kultur
ke-Acehan sangatlah kuat.”
Hal senada diutarakan Arief. Anggota Teater Alif, Jakarta ini, menyebutkan,
dari sisi penggarapan, sutradara dan pemain telah membawa penonton hanyut.
Dimana, keduanya seperti tahu betul, naskah tersebut dimainkan di Aceh.
“Semisal ketika tadi memainkan dengan seni tutur. Jadi
penonton terasa betul-betul menikmati pertunjukannya, karena mungkin dekat
dengan lingkungan mereka,” sebut lelaki berambut gondong ini.
Pemilihan naskah, sebut Arief, sangatlah sesuai. “Basic
kawan-kawan kan
teater kampus. Jadi isu jual beli gelar seperti ini sangat terasa di dunia
pendidikan,” ucap seniman yang juga seorang penulis di sebuah media online, di
Jakarta ini.
“Ini sebagai sebuah kritikan, dimana hal ini terjadi di
negeri kita,” tambah Tejo. Ia menyebutkan praktik jual beli gelar ini merupakan
suatu hal yang sangat ironis. Yang menjalankan bisnis kotor ini, kata Tejo,
bukanlah orang sembarangan. Yang membeli pun, adalah mereka orang-orang, yang
merasa, gelar bisa mendongkrak jabatannya di negeri ini.
“Kita tidak tahu, barangkali ada, bahkan mungkin banyak
pemimpin negeri ini yang dengan mudah mendapatkan sebuah jabatan. Padahal,
pendidikan ia dapatkan melalui praktek jual beli gelar tadi. Bisa dibilang,
naskah ini memberi nasihat kepada kita, apabila hal ini terus terjadi, kondisi
negeri akan kacau. Hal ini kan
sebuah masalah.”
Mulia Mardi. Lelaki bertubuh kurus ini mempersiapkan
penampilan malam tersebut selama satu bulan lamanya. Bagi mahasiswa semester
akhir di jurusan komunikasi ini, pesan dalam naskah yang ia mainkan, haruslah
disampaikan kepada para penonton. Apalagi, penonton malam itu, dinominasi oleh
mereka, para mahasiswa.
“Ini bisnis yang rentan juga bagi mahasiswa. Banyak sekarang
mereka dengan mudah mendapatkan gelar, dengan skripsi pesanan, atau bahkan
tanpa perlu kuliah sekalipun,” kata pria asal Lhokseumawe ini.
Tampaknya, penampilan yang juga diselingi dengan bayolan
parodi oleh sang aktor ini memang menggambarkan kondisi negeri. Simaklah
beberapa penggal dialog Prodo malam itu, kala ia mengisahkan sejarah negeri
ini.
Mengambil topi kebesaran para raja, Prodo berubah peran.
Kali ini, ia adalah seorang raja. “Lihat ini baik-baik saudara, dulu di zaman
raja-raja hidup, sebagai penghargaan pada para pengikutnya, dia memberikan
gelar dan kedudukan. Para pengikutnya menjadi
hormat dan bermartabat.”
Dok Teater Rongsokan
Siap berujar demikian, Prodo kembali berganti peran. Kali
ini, dia mengeluarkan sebuah helm, memakai layaknya kolonial. Aksen bahasa pun,
mencirikan ia seorang komandan para penjajah. “Lihat baik-baik, ini di masa
penjajahan bangsa asing. Untuk menggoda para bumiputra supaya merasa terhormat.
Mereka memberi gelar pada siapa saja yang punya uang. ‘saya beri kamu gelar’.”
Jadi, kata Prodo, ia adalah pelanjut tradisi itu. Tradisi
para raja dan penjajah dulu. “Saudara-saudara tahu? setelah pendidikan menjadi
kebutuhan di negeri yang pendidikannya berseri-seri ini, sejumlah perguruan
tinggi berdiri, program S1-S2-S3 pun banyak, ibaratnya mendaki gunung tinggi
dengan susah payah, peluang itu muncul bagiku yang dibesarkan dengan penuh
kemanjaan. Mengapa kemanjaan? Orang tuaku kaya raya. Akhirnya aku malas.”
Slide peran kembali berubah. Prodo, kini memainkan perannya
ketika masih kecil. Ia berganda peran dengan sang ibu. Ketika ibunya
membangunkannya untuk pergi sekolah, Prodo malah menarik selimut. “Ya sudah
sayang. Nanti mamak telpon kepala sekolah bilang kamu sakit ya.”
Bayangkan, semua peran itu, dimainkan Prodo dengan gaya kocak, yang berhasil
mengocok perut penonton. Namun, di lain waktu, penonton mengangggukkan kepala.
Mendengarkan dialog Prodo, sepertinya mereka setuju, ‘beginilah kondisi negeri
ini’.
*****
Perilaku kotor biasanya tak pernah bisa abadi. Namun,
pelanjut tradisi tentulah selalu ada. Seperti halnya Prodo Imitatio. Pada akhir
peran, Pak Rektor University Of Zuzulapan ini, harus berhadapan dengan pihak
berwajib. Ia meringkuk di hotel prodeo. Ya, di penjara penuh debu. Untuk
kemudian, hanya kecoak dan tikus yang menjadi teman, kawan yang selalu
mendampingi dalam gelap.
“Sebagai penonton yang cerdas, kita harus sadar, bahwa
ketika diluar penjara pun, sebetulnya, ia juga berkawan dengan tikus dan
kecoak. Maknanya, tikus disini, ya, implementasi kepada mereka yang menjalankan
dan menikmati bisnis ini. Mereka kan
juga disebutkan sebagai seekor tikus,” kata Sutradara berambaut kriwil itu.
Di dalam penjara, Prodo mulai berontak. Ia meradang. Sedih.
“Kemana para sarjanaku, ketika aku membutuhkan mereka,” isak Prodo. Seharusnya,
ujar Prodo dalam tangisnya, yang ditangkap adalah mereka para pembeli, bukan
hanya mereka para penjual. Pembeli, kata Prodo, dibiarkan begitu saja tanpa
diberikan sangsi apa-apa. Bahkan, akhirnya, mereka yang nanti akan menjadi
orang penting di negeri ini.
Bisnis ini, layaknya dunia pelacuran, yang sangat kecil
kemungkinan untuk diberantas. Bisnis ini, telah beranak cucu. Menurut data
University Of Zuzulapan, dalam naskah
Arthur ini, kampus ini telah menghasilkan lima
puluh orang doctor, seratus lima
puluh Master, dan 333 sarjana dari berbagai bidang ilmu.
“Semakin banyak para sarjana, magister, hingga doctor palsu,
akan jadi apa negeri ini. Lihatlah, kemana mereka ketika aku seperti ini,”
Prodo meraung histeris.