Sekitar tahun 1970-an, masyarakat sekitaran daerah Sukamenanti, Kelurahan Pasar Liwa, Kecamatan Balikbukit, menggunakan sebuah danau te...
Sekitar tahun 1970-an, masyarakat sekitaran daerah Sukamenanti, Kelurahan Pasar Liwa, Kecamatan Balikbukit, menggunakan sebuah danau tepat di pinggiran Jalan Raden Intan untuk keperluan mandi dan mencuci. Namun mulai tahun 1990, masyarakat tak lagi menggunakannya karena kawasan tersebut semakin ramai penduduk.
Air danau bernama Ham Tebiu zaman itu sangat jernih, memiliki pinggiran dangkal dan berpasir. Tak hanya untuk mandi cuci, masyarakat dan anak-anak bahkan kerap menggunakannya untuk berenang dan memancing. Memasuki tahun 1990 hingga paska gempa yang sempat memorakporandakan Liwa pada 16 Februari 1994 silam, masyarakat sekitar mulai meninggalkan danau kecil yang berada di lahan seluas hampir dua hektare tersebut.
Salah satu warga setempat Mariya menuturkan, kawasan Ham Tebiu hingga Sukamenanti sekitar tahun 1980-an masih sepi dan sebagian besar berupa hutan. Danau itupun dulunya dikelilingi rumpun bambu.Ada jalan setapak yang dipakai warga untuk menuju bibir danau.
"Tahun 80-an saya dan anak memang mandinya disana . Airnya jernih. Rata-rata orang sekitar sini mandi di sana . Banyak juga biawaknya," kenang ibu dua anak ini saat mengawali perbincangan dengan Tribun Lampung, Minggu (29/4/2012).
Istri dari Suyatman ini mengatakan, dua jalan yang berada di kiri dan kanan danau pun saat itu belum ada (jalan menuju RSUD Liwa dan sekolah dasar). Mulai tahun 1990-an, sambungnya, mulai ramai masyarakat sehingga danau ini tidak lagi digunakan warga untuk aktivitas mandi. Posisinya memang tepat di pinggir jalan (sisi kiri dari arah Terminal Liwa).
Terlebih, lanjutnya, saat gempa bumi yang mengguncang Liwa dengan kekuatan 6,9 skala richter, danau tersebut digunakan untuk memandikan ratusan mayat secara masal. Bambu-bambu yang dulu mengitari danau ditebang untuk memudahkan proses memandikan mayat. Paska itu, warga tidak ada lagi yang menggunakannya. Saat ini, terangnya, air danau cenderung keruh dan terkesan menyeramkan. Saat gempa, dibuka bambunya belukar
"Melihatnya saja memang seram saat ini, setelah dipakai buat memandikan mayat waktu itu. Bahkan, kuburan masalnya berada tak jauh dari danau (arah RSUD Liwa samping aula RSUD). Sekarang kalau sore saja di taman-tamannya yang ada pondokan, anak-anak sekolah kerap kesana sekedar kumpul-kumpul. Atau orang dari perjalanan jauh datang, untuk sebentar melepas lelah," beber dia.
Editor : Yeddi
Air danau bernama Ham Tebiu zaman itu sangat jernih, memiliki pinggiran dangkal dan berpasir. Tak hanya untuk mandi cuci, masyarakat dan anak-anak bahkan kerap menggunakannya untuk berenang dan memancing. Memasuki tahun 1990 hingga paska gempa yang sempat memorakporandakan Liwa pada 16 Februari 1994 silam, masyarakat sekitar mulai meninggalkan danau kecil yang berada di lahan seluas hampir dua hektare tersebut.
Salah satu warga setempat Mariya menuturkan, kawasan Ham Tebiu hingga Sukamenanti sekitar tahun 1980-an masih sepi dan sebagian besar berupa hutan. Danau itupun dulunya dikelilingi rumpun bambu.
"Tahun 80-an saya dan anak memang mandinya di
Istri dari Suyatman ini mengatakan, dua jalan yang berada di kiri dan kanan danau pun saat itu belum ada (jalan menuju RSUD Liwa dan sekolah dasar). Mulai tahun 1990-an, sambungnya, mulai ramai masyarakat sehingga danau ini tidak lagi digunakan warga untuk aktivitas mandi. Posisinya memang tepat di pinggir jalan (sisi kiri dari arah Terminal Liwa).
Terlebih, lanjutnya, saat gempa bumi yang mengguncang Liwa dengan kekuatan 6,9 skala richter, danau tersebut digunakan untuk memandikan ratusan mayat secara masal. Bambu-bambu yang dulu mengitari danau ditebang untuk memudahkan proses memandikan mayat. Paska itu, warga tidak ada lagi yang menggunakannya. Saat ini, terangnya, air danau cenderung keruh dan terkesan menyeramkan. Saat gempa, dibuka bambunya belukar
"Melihatnya saja memang seram saat ini, setelah dipakai buat memandikan mayat waktu itu. Bahkan, kuburan masalnya berada tak jauh dari danau (arah RSUD Liwa samping aula RSUD). Sekarang kalau sore saja di taman-tamannya yang ada pondokan, anak-anak sekolah kerap ke
Editor : Yeddi
Sumber : sulis setia markhamah | lampung.tribunews.com