HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Sekolah Pembebanan

Oleh Muhibuddin Hanafiah dan Zahriani Ahmad Amin Setiap menjelang tahun ajaran baru, sebagian besar orang tua mulai sibuk menyiapkan putr...

Oleh Muhibuddin Hanafiah dan Zahriani Ahmad Amin

Setiap menjelang tahun ajaran baru, sebagian besar orang tua mulai sibuk menyiapkan putra-putri mereka untuk dapat diterima di sekolah favorit. Fenomena ini bukan hanya dialami oleh anak-anak yang akan tamat SD, SMP atau SMA saja, tapi juga bagi anak-anak TK. Untuk tercapainya tujuan tersebut, tidak ada pilihan lain kecuali orang tua harus memburu tempat-tempat bimbingan belajar dan memaksa anak untuk mengikuti kemauan mereka.

Untuk mengajar sendiri di rumah, jelas mereka tidak punya waktu atau mungkin juga tidak menguasai materi pelajaran sekolah. Dari kenyataan ini, alternatif yang mungkin ditempuh hanyalah menitipkan anak pada bimbingan belajar. Kalau perlu mereka akan memilih tempat bimbingan belajar yang super intensif, perihal biaya tak menjadi soal asal anaknya terjamin lulus di sekolah yang dituju.

Demi mengejar mimpi dirinya, ia paksakan dan korbankan kemerdekaan pilihan anak dengan cara yang kelihatannya cukup muslihat, yaitu mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. “Sedikit memaksa itukan hak orang tua”, merupakan ucapan klise yang sering dijadikan dalih pembenaran. Sementara sekolah yang merasa kursinya diperebutkan oleh banyak orang tua menaikkan kualifikasi penerimaan siswa baru  dengan bermacam-macam persyaratan di luar aturan yang berlaku.

Dengan semakin ketat dan tingginya persyaratan yang diajukan, bahkan untuk memasuki SD, anak-anak usia TK pun harus rela menciutkan waktu bermain mereka untuk mengikuti program belajar tambahan bersama guru atau tentor. Seharusnya mereka masih bermain sambil belajar, dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk bersama orang tua. Tapi yang mereka alami malah sebaliknya, mereka harus belajar dalam keadaan tertekan, karena kekawatiran orang tua yang berlebihan dengan terpaksa anak-anak ini harus rela melepaskan waktu berharga mereka.

 Minus komunikasi

Satu contoh kasus misalnya, anak lulusan Taman Kanak-Kanak (TK) agar diterima di sekolah dasar (SD), harus bisa membaca dan menulis. Sementara realitas yang terjadi, tidak semua anak usia TK mampu memenuhi semua kualifikasi itu. Di antara penyebab dari kelemahan anak usia TK tersebut adalah kurangnya kerjasama (membagi tugas) antara guru di sekolah dan orang tua di rumah untuk mengulang, memperkuat atau mempertajam pelajaran di sekolah ketika anak sudah di rumah bersama orang tua.

Ternyata kebanyakan orang tua tidak mampu memainkan peran sebagai penyambung lidah guru di rumah. Sehingga target anak mahir membaca dan menulis jadi keteteran. Alasan orang tua pasti beragam; tidak sempatlah, terlalu sibuk di kantor, tidak ada waktu karena harus bekerja, pulang ke rumah sudah terlalu lelah, dan lain-lain. Pelarian dari kelalaian orang tua ini harus ditebus oleh pihak lain, yaitu guru privat atau tentor di tempat bimbingan belajar.

Perilaku orang tua dengan jalan memotong kompas semacam ini seakan menjadi pemandangan umum pada masyarakat kita akhir-akhir ini terutama di perkotaan. Anak-anak sejak dini telah dipress sesuai dengan keinginan orang tua di jalur sekolah mana ia harus menempuh. Sering orang tua bertindak otoriter untuk memenuhi harapan ini. Anak tidak dilibatkan untuk mengukir cita-cita menurut kemampuan dan keinginannya. Nuansa demokrasi dalam keluarga, dimana anak berhak memberikan pendapat dan menentukan masa depannya, jarang dipraktekkan. Langkah-langkah kompromi antara orang tua dan anak semakin terlupakan dalam tradisi keluarga. Pemaksaan keinginan orang tua yang sifatnya sepihak ini justru semakin membuka ruang yang lebar dan jarak yang jauh dalam hubungan mereka. Di mata anak, orang tua bukan sebagai orang terdekat, orang yang paling mengerti akan diri mereka. Melainkan sosok yang masa bodoh terhadap suara hati mereka.

Pemaksaan kemauan dengan mengabaikan fisiologis dan psikologis anak bisa berakibat fatal, seperti anak merasa jenuh, bosan dan ingin lari dari orang tua. Eksploitasi anak oleh orang tua seakan tak mengenal musim. Orang tua siap kapan saja merampas masa depan anaknya karena menggap itu milik mereka, dan orang tua merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan anak-anak mereka.

Padahal anak hanya “menumpang” lahir melalui rahim ibunya, tetapi bukan berarti orang tua boleh begitu saja memaksa keinginannya pada anak. Sebab, setiap anak memiliki hak atas dirinya sendiri, ia berhak memilih jalan hidupnya tanpa paksaan siapapun, termasuk orang tua. Pandangan ini sekilas kelihatannya ekstrem, melawan arus, dan terlalu memberi kebebasan pada anak. Sementara orang tua semakin terbatas hak dan otoritas terhadap anaknya sendiri.

Padahal tidak demikian, anak adalah satu pribadi yang tidak berbeda dengan manusia lain. Ia berhak menentukan pilihannya sendiri, orang tua sebatas pengarah lantaran lebih berpengalaman. Tetapi sekali lagi bukan lokomotif terhadap individu anak. Dimana kapasitas, potensi, bakat dan minat serta pola pandang terhadap kehidupan berbeda dengan orang tuanya sesuai dengan zaman, lingkungan dan pendidikan yang ditempuh.

 Minus bermain

Di sekolah dengan muatan kurikulum yang cukup padat, sudah membuat kepala anak penat. Lalu sepulang sekolah otak anak yang telah penuh itu harus diisi lagi dengan berbagai materi pelajaran tambahan yang tumpang tindih. Sayang, otak anak penuh dengan hafalan, wawasan dan pengetahuan, minus pemahaman. Akibatnya, pengetahuan yang diperolehnya tidak berkualitas, tidak berkesan, tidak membekas dan akhirnya mudah lupa lantaran rasa bosan akrab menggelayuti.

Orang tua kurang tepat dalam membangun persepsi terhadap pendidikan anak. Mereka mengira bahwa anak sukses itu adalah anak yang pinter secara kognitif (intelek), anak yang otaknya cemerlang. Sementara kecerdasan jiwa, hati, kepribadian (soft skill) dan sosial dianggap tidak penting. Akibatnya prinsip keseimbangan otak antara belahan kiri dan kanan kurang pendapat perhitungan. Padahal, asah otak harus dibarengi dengan asah hati, rasa dan jiwa.

Hal ini dapat ditempuh melalui berbagai kegiatan selain belajar dalam pengertian formal, seperti melalui kegiatan kesenian, kebudayaan, olahraga, pergaulan sosial dan pengamalan ajaran agama. Dan hanya orang tualah yang paling mahir mengasah kecerdasan jenis ini. Variasi kegiatan pendidikan yang menampung ketiga ranah pendidikan (kognitif, afektif dan psikomotor) secara harmonis sejatinya menjadi pilihan yang harus diburu orang tua.

Sudah saatnya kini orang tua tidak saja mengharapkan hasil dari anak tanpa mau menerima dan mengalami proses bersama dengan mereka. Melewati waktu bersama dengan anak merupakan tindakan yang wajib dipertimbangkan bila ingin dekat dan mau mengenali dan memahami anak. Jangan korbankan anak untuk mengejar karir dan penghasilan materi, adalah petuah bijak yang pantas didengar.

Sebab, nilai (takaran) keduanya --anak dan materi kekayaan-- tidak sebanding. Anak adalah keabadian orang tua di mata Tuhan dan manusia. Sedangkan karir, pendapatan harta benda hanyalah kefanaan yang bisa jadi nista bila anak tersia-siakan. Karena itu, kehadiran dan peran serta orang tua bersama anak tidak bisa digantikan oleh siapapun, baik guru, tentor apalagi pembantu.

* Muhibuddin Hanafiah dan Zahriani Ahmad Amin
, adalah orang tua dengan tiga anak.