Oleh : Handa S. Abidin NEGOSIASI skala internasional mengenai penanganan perubahan iklim yang melibatkan ratusan negara di dunia baru sa...
Oleh : Handa S. Abidin
NEGOSIASI skala internasional mengenai penanganan perubahan iklim yang melibatkan ratusan negara di dunia baru saja berakhir di Durban, Afrika Selatan (28 November-11 Desember 2011). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peranan penting dalam negosiasi penanganan perubahan iklim global. Bagaimana posisi Indonesia? Presiden SBY pernah mengatakan upaya penanganan perubahan iklim merupakan agenda nasional bukan hanya agenda dunia (30/9).
Walaupun masih banyak kekurangan, Presiden SBY dapat dikatakan merupakan Presiden Indonesia yang paling sadar mengenai pentingnya penanganan masalah perubahan iklim. Selama masa pemerintahannya telah keluar sejumlah produk hukum yang mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Hal ini tidak terjadi dalam pemerintahan presiden sebelumnya. Hanya pada masa mantan Presiden Soeharto terdapat produk hukum mengenai perubahan iklim, yaitu ketika Indonesia mengesahkan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim 1992 (UNFCCC) melalui undang-undang pada tahun 1994 (UU 6/1994).
Terdapat beberapa hal yang perlu dicatat dalam agenda penanganan perubahan iklim Indonesia pada masa pemerintahan SBY. Pertama, Presiden SBY telah membentuk DNPI (Perpres 46/2008) yang bertugas sebagai koordinator pelaksana dari penanganan perubahan iklim di Indonesia serta sebagai pihak yang bertugas untuk memperkuat posisi tawar Indonesia di forum internasional mengenai perubahan iklim. Kedua, Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004 dan memiliki undang-undang mengenai pengesahan Protokol Kyoto (UU 17/2004). Dengan disahkannya UU 17/2004, maka Indonesia secara hukum telah mendukung upaya pencapaian komitmen hukum negara maju dalam penurunan emisinya, terutama dengan kerjasama mitigasi yang dinamakan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Ketiga, sejumlah kegiatan mitigasi perubahan iklim yang berasal dari Protokol Kyoto maupun di luar Protokol Kyoto telah diakomodir dengan sejumlah produk hukum nasional. Misalnya, MPB yang lahir dari Protokol Kyoto, telah diatur dengan keputusan menteri (Kepmen LH 206/2005). Selain itu, mekanisme di luar Protokol Kyoto, seperti mekanisme pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD-plus) telah diatur oleh sejumlah keppres, inpres dan permenhut (antara lain oleh Permenhut 68/2008, Permenhut 30/2009, Keppres 19/2010, Inpres 10/2011, dan Keppres 25/2011). Keempat, pada tanggal 20 September 2011, Presiden SBY menandatangani perpres mengenai rencana penurunan emisi gas rumah kaca secara nasional (Perpres 61/2011). Perpres ini mengatur dengan detail target penurunan emisi per sektor secara nasional dan menginstruksikan agar pemerintah daerah untuk membuat hal yang serupa.
UU Perubahan Iklim
Terdapat tiga alasan mengapa Indonesia membutuhkan “Undang-Undang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.” Pertama, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Saat ini sudah puluhan pulau kecil di Indonesia tenggelam akibat kenaikan air laut. Jumlah ini bisa meningkat menjadi ratusan bahkan ribuan pulau kecil apabila dampak perubahan iklim semakin parah. Hal ini akan mengakibatkan Indonesia kehilangan wilayah darat dan laut yang signifikan secara hukum. Dari aspek kehutanan, hutan Indonesia saat ini terancam punah. Data Departemen Kehutanan (2009) mengatakan jumlah hutan Indonesia sekitar 133 juta hektar, sedangkan Data FAO (2010) mengatakan jumlah hutan Indonesia hanya tinggal sekitar 94 juta hektar saja. Dalam beberapa tahun terakhir ini angka rata-rata deforestasi di Indonesia adalah sekitar 1 juta hektar/tahun. Apabila Indonesia terus melakukan pola pengundulan hutan massal seperti ini, maka hutan primer di Indonesia akan musnah sebelum pergantian abad. Kota-kota besar di Indonesia juga terancam lumpuh. Jakarta dan Surabaya akan mengalami kerugian ekonomi yang luar biasa akibat naiknya air laut. Jakarta yang sampai sekarang ini tidak bisa mengatasi banjir akan menjadi salah satu ibu kota negara yang akan mengalami dampak terparah akibat perubahan iklim.
Kedua, “Undang-Undang mengenai Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim” akan memperkuat agenda penanganan perubahan iklim di Indonesia. Saat ini produk hukum yang mengatur agenda perubahan iklim di Indonesia masih bersifat lemah dan tidak mengikat secara hukum. Tidak ada sanksi yang tegas apabila suatu pelanggaran dilakukan. Harus diakui, undang-undang memang bukan jaminan terlaksananya suatu hukum meskipun undang-undang itu bersifat mengikat dan memiliki sanksi bagi para pelanggarnya. Masih ada faktor lain yang perlu diperhatikan, seperti faktor sosial, ekonomi dan budaya di dalam menegakan suatu undang-undang. Namun, paling tidak suatu undang-undang yang mengatur masalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan menimbulkan suatu kejelasan hukum. Ada suatu aturan main yang secara hukum wajib ditaati.
Ketiga, Indonesia berpotensi untuk dapat mendapatkan puluhan bahkan ratusan triliunan rupiah dengan adanya “Undang-Undang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.” Dalam pertemuan penanganan perubahan iklim skala dunia (COP) mengenai perubahan iklim tiga tahun terakhir ini, negara maju telah memiliki komitmen dalam memobilisasi dana triliunan rupiah untuk kepentingan negara berkembang di dalam penanganan masalah perubahan iklim. Indonesia dapat meminimalisir kehilangan pulau kecil, mencegah punahnya hutan dan lumpuhnya kota serta kabupaten di Indonesia dengan memanfaatkan dana ini. “Undang-Undang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim” berfungsi untuk menciptakan suatu kepastian hukum, sehingga negara maju dan organisasi internasional tidak ragu dalam memberikan bantuan finansial berupa hibah ke Indonesia.
Saat ini, belum terdengar wacana pembuatan undang-undang terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Apabila Presiden SBY benar-benar serius dalam penanganan masalah perubahan iklim, maka saat ini adalah waktu yang tepat. Saat ini DPR dikuasai oleh Partai Demokrat dan partai koalisi pendukung pemerintahan SBY. Hal ini akan memudahkan proses pembentukan “Undang-Undang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim” di Indonesia. Tidak ada jaminan pemenang pemilu 2014 akan mendukung agenda perubahan iklim nasional dan internasional seperti sekarang ini.
* Penulis adalah Peneliti Hukum Perubahan Iklim Internasional dan Kandidat Ph.D. dari Edinburgh Law School.
NEGOSIASI skala internasional mengenai penanganan perubahan iklim yang melibatkan ratusan negara di dunia baru saja berakhir di Durban, Afrika Selatan (28 November-11 Desember 2011). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peranan penting dalam negosiasi penanganan perubahan iklim global. Bagaimana posisi Indonesia? Presiden SBY pernah mengatakan upaya penanganan perubahan iklim merupakan agenda nasional bukan hanya agenda dunia (30/9).
Walaupun masih banyak kekurangan, Presiden SBY dapat dikatakan merupakan Presiden Indonesia yang paling sadar mengenai pentingnya penanganan masalah perubahan iklim. Selama masa pemerintahannya telah keluar sejumlah produk hukum yang mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Hal ini tidak terjadi dalam pemerintahan presiden sebelumnya. Hanya pada masa mantan Presiden Soeharto terdapat produk hukum mengenai perubahan iklim, yaitu ketika Indonesia mengesahkan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim 1992 (UNFCCC) melalui undang-undang pada tahun 1994 (UU 6/1994).
Terdapat beberapa hal yang perlu dicatat dalam agenda penanganan perubahan iklim Indonesia pada masa pemerintahan SBY. Pertama, Presiden SBY telah membentuk DNPI (Perpres 46/2008) yang bertugas sebagai koordinator pelaksana dari penanganan perubahan iklim di Indonesia serta sebagai pihak yang bertugas untuk memperkuat posisi tawar Indonesia di forum internasional mengenai perubahan iklim. Kedua, Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004 dan memiliki undang-undang mengenai pengesahan Protokol Kyoto (UU 17/2004). Dengan disahkannya UU 17/2004, maka Indonesia secara hukum telah mendukung upaya pencapaian komitmen hukum negara maju dalam penurunan emisinya, terutama dengan kerjasama mitigasi yang dinamakan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Ketiga, sejumlah kegiatan mitigasi perubahan iklim yang berasal dari Protokol Kyoto maupun di luar Protokol Kyoto telah diakomodir dengan sejumlah produk hukum nasional. Misalnya, MPB yang lahir dari Protokol Kyoto, telah diatur dengan keputusan menteri (Kepmen LH 206/2005). Selain itu, mekanisme di luar Protokol Kyoto, seperti mekanisme pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD-plus) telah diatur oleh sejumlah keppres, inpres dan permenhut (antara lain oleh Permenhut 68/2008, Permenhut 30/2009, Keppres 19/2010, Inpres 10/2011, dan Keppres 25/2011). Keempat, pada tanggal 20 September 2011, Presiden SBY menandatangani perpres mengenai rencana penurunan emisi gas rumah kaca secara nasional (Perpres 61/2011). Perpres ini mengatur dengan detail target penurunan emisi per sektor secara nasional dan menginstruksikan agar pemerintah daerah untuk membuat hal yang serupa.
UU Perubahan Iklim
Terdapat tiga alasan mengapa Indonesia membutuhkan “Undang-Undang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.” Pertama, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Saat ini sudah puluhan pulau kecil di Indonesia tenggelam akibat kenaikan air laut. Jumlah ini bisa meningkat menjadi ratusan bahkan ribuan pulau kecil apabila dampak perubahan iklim semakin parah. Hal ini akan mengakibatkan Indonesia kehilangan wilayah darat dan laut yang signifikan secara hukum. Dari aspek kehutanan, hutan Indonesia saat ini terancam punah. Data Departemen Kehutanan (2009) mengatakan jumlah hutan Indonesia sekitar 133 juta hektar, sedangkan Data FAO (2010) mengatakan jumlah hutan Indonesia hanya tinggal sekitar 94 juta hektar saja. Dalam beberapa tahun terakhir ini angka rata-rata deforestasi di Indonesia adalah sekitar 1 juta hektar/tahun. Apabila Indonesia terus melakukan pola pengundulan hutan massal seperti ini, maka hutan primer di Indonesia akan musnah sebelum pergantian abad. Kota-kota besar di Indonesia juga terancam lumpuh. Jakarta dan Surabaya akan mengalami kerugian ekonomi yang luar biasa akibat naiknya air laut. Jakarta yang sampai sekarang ini tidak bisa mengatasi banjir akan menjadi salah satu ibu kota negara yang akan mengalami dampak terparah akibat perubahan iklim.
Kedua, “Undang-Undang mengenai Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim” akan memperkuat agenda penanganan perubahan iklim di Indonesia. Saat ini produk hukum yang mengatur agenda perubahan iklim di Indonesia masih bersifat lemah dan tidak mengikat secara hukum. Tidak ada sanksi yang tegas apabila suatu pelanggaran dilakukan. Harus diakui, undang-undang memang bukan jaminan terlaksananya suatu hukum meskipun undang-undang itu bersifat mengikat dan memiliki sanksi bagi para pelanggarnya. Masih ada faktor lain yang perlu diperhatikan, seperti faktor sosial, ekonomi dan budaya di dalam menegakan suatu undang-undang. Namun, paling tidak suatu undang-undang yang mengatur masalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan menimbulkan suatu kejelasan hukum. Ada suatu aturan main yang secara hukum wajib ditaati.
Ketiga, Indonesia berpotensi untuk dapat mendapatkan puluhan bahkan ratusan triliunan rupiah dengan adanya “Undang-Undang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.” Dalam pertemuan penanganan perubahan iklim skala dunia (COP) mengenai perubahan iklim tiga tahun terakhir ini, negara maju telah memiliki komitmen dalam memobilisasi dana triliunan rupiah untuk kepentingan negara berkembang di dalam penanganan masalah perubahan iklim. Indonesia dapat meminimalisir kehilangan pulau kecil, mencegah punahnya hutan dan lumpuhnya kota serta kabupaten di Indonesia dengan memanfaatkan dana ini. “Undang-Undang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim” berfungsi untuk menciptakan suatu kepastian hukum, sehingga negara maju dan organisasi internasional tidak ragu dalam memberikan bantuan finansial berupa hibah ke Indonesia.
Saat ini, belum terdengar wacana pembuatan undang-undang terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Apabila Presiden SBY benar-benar serius dalam penanganan masalah perubahan iklim, maka saat ini adalah waktu yang tepat. Saat ini DPR dikuasai oleh Partai Demokrat dan partai koalisi pendukung pemerintahan SBY. Hal ini akan memudahkan proses pembentukan “Undang-Undang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim” di Indonesia. Tidak ada jaminan pemenang pemilu 2014 akan mendukung agenda perubahan iklim nasional dan internasional seperti sekarang ini.
* Penulis adalah Peneliti Hukum Perubahan Iklim Internasional dan Kandidat Ph.D. dari Edinburgh Law School.