Oleh : Abd Gani Isa MENARIK untuk dicermati kembali sekaligus sepatutnya memberikan apresiasi kepada Kapolda Aceh Irjen (Pol) Iskandar H...
Oleh : Abd Gani Isa
MENARIK untuk dicermati kembali sekaligus sepatutnya memberikan apresiasi kepada Kapolda Aceh Irjen (Pol) Iskandar Hasan, yang mengatakan bahwa rekrutmen polisi Aceh mendatang harus berbasis dayah, dengan melibatkan Tim seleksi dari MPU Aceh, seperti dilansir Harian Serambi Indonesia (Kamis 15-12-2011). Pernyataan Kapolda tersebut dilatarbelakangi banyaknya anggota polisi di Aceh selama ini terindikasi bermoral buruk, terlibat transaksi narkoba, bahkan tidak kurang dari seribuan anggota polisi di Aceh terindikasi mengonsumsi barang haram tersebut.
Penulis, mungkin termasuk pembaca mengakui dan tak bisa menafikan bahwa tugas polisi sangat strategis dan mulia dalam menjaga kamtibmas, tentu kita dapat membayangkan bagaimana bila satu hari tidak ada polisi, sungguh semraut lalulintas di jalan raya, pencuri dan perampokan bergentayangan di mana-mana. Namun di sisi lain keberadaan polisi belum sepenuhnya memberikan rasa aman bagi masyarakat, bila masih saja terjadi seperti diistilahkan “pagar makan tanaman”. Sampai kapan bangunan sistem “kepolisisan” ke depan jauh lebih berwibawa profesional dan dihormati rakyat.
Agaknya langkah panjang ke arah polri yang lebih professional masih jauh panggang dari pada api. Pembenahan struktural, kultural dan refinement menuju polisi sipil yang lebih professional sedikitnya membutuhkan 17 tahun ke depan (bila meminjam istilah Bowran Sivilinisasi oleh Mike Bowran). Pertanyaannya apakah kepolisian dapat mengubah dirinya sendiri jika terus menerus di bawa ke ranah politik tak berujung dan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan. Padahal tugas dan tantangan polri ke depan semakin kompleks di tengah citra polisi yang semakin hari semakin terpuruk dihempas isu suap dan beberapa skandal korupsi. Kepercayaan masyarakat pun semakin menurun terhadap institusi penegak hukum terutama kepolisisan RI. Ini dapat dilihat dari beberapa indikator:(a) memiliki sikap apatis terhadap proses penegakan hukum (b) masyarakat lebih memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah (c) maraknya organisasi massa pemicu kekerasan (d) lemahnya institusi penegakan hukum terlihat dari mudahnya aparat penegak hukum disuap sehingga mampu memutarbalikkan fakta hingga perkara semakin jauh dari subtansi yang diinginkan oleh para pencari keadilan.
Masyarakat masih melihat kepolisian hari ini sama dengan penegak hukum kebanyakan. Dalam konsepsinya, polisi ditempatkan sebagai pintu masuk keroposnya proses dan penegakan hukum. Tidak dapat diingkari di kalangan kepolisian sendiripun banyak terlibat asusila dan amoral, ada pihak yang coba cari selamat dari jerat hukum perkara kriminal dan penyalahgunaan wewenang termasuk pelanggaran qanun syariat di Aceh. Nampaknya Kapolda Aceh ingin memperbaiki itu semua, sekaligus membawa potret polisi Aceh ke arah Islami. Dan berbasis syariah
Kembali ke khittah
Secara normatif, kerja kepolisian dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) penegak hukum (2) penjaga ketertiban dan keamanan (3) pelayanan publik. Namun dengan semakin dinamis perkembangan masyarakat semakin beragam pula tantangan kerja kepolisian di masa depan. Kinerja kepolisian semakin dominan di hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu pentingnya fungsi dan peran sehingga polri menjadi titik sentrifugal di bidang penegakan hukum. Pilihan untuk menjadikan polri semakin professional tidak dapat ditawar-tawar lagi. Memiliki polisi sipil yang dicintai rakyat dengan segudang keahlian hari ini hanya masih menjadi mimpi, namun bukan berarti tidak mungkin. Demokratisasi yang sedang berlangsung ditambah kekuatan masyarakat sipil yang sedang tumbuh mengawal proses reformasi yang ada ditubuh polri sekarang ini. Sampai di sini tentu kita sulit masih menemukan jawaban yang tepat dan menggembirakan atas persoalan membangun kepolisian pada wilayah masyarakat sipil yang solid dan kuat, karena secara internal dalam tubuh polri masih banyak menyimpan bibit kerusakan dan virus-virus yang dapat mengatarkannya kepada kelumpuhan bahkan kematian.
Polisi Islami
Program merekrut calon polisi di Aceh berbasis dayah patut mendapat dukungan semua elemen masyarakat Aceh, seperti dicetuskan Kapolda. Calon polisi Aceh nantinya diutamakan dari lulusan dayah atau aliyah, karena ke depan dibutuhkan polisi yang baik dan berakhlakul karimah. Buat apa polisi gagah, ganteng, tapi moralnya bobrok. Bagaimana polisi bisa menegakkan hukum kalau diri mereka sendiri tidak “sadar hukum”, malahan menggerogoti supremasi hukum.
Menurut Kapolda polisi yang bermoral adalah mereka yang berprilaku baik, beraklak mulia. Secara keilmuwan memiliki kemampuan di bidang agama dan pengamalan syariat dengan baik. Untuk mendukung rencana baik tersebut, maka indikator baik tidaknya calon polisi yang akan diterima dilihat dari beberapa aspek antara lain; (a) mampu dan disiplin menjalankan perintah Allah Swt seperti shalat, dan tidak pernah terlibat kasus kriminal dan tersangkut dengan narkoba. (b) mampu membaca al-Qur’an dengan baik (c) memiliki keahlian memberi ceramah atau khatib Jumat, (d) mampu menjadi imam shalat, dan (e) juga diharapkan mampu melaksanakan tajhiz mait, bila sewaktu-waktu diperlukan.
Figur bagi rakyat
Meski secara formal polisi selama ini telah menjadi sipil dan tidak lagi menjadi bagian dari militer, bukan berarti cara-cara kekerasan telah menjauh dari institusi polisi. Pandangan ini sama sekali tidak bermaksud menyudutkan institusi kepolisian dan upaya penting yang telah dilakukan kepolisian selama ini. Tetapi upaya mengembalikan polri ke khittahnya belum cukup saat kepolisian masih terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat dan permainan uang, mengabaikan tugas kepolisian yang sesungguhnya, serta polisi masih sebagai instrument kekerasan.
Kemapanan yang sekarang ada bukan berarti tidak dapat tersentuh oleh tangan-tangan perubahan, realitas yang ada menunjukkan masih banyaknya perwira polri yang menginginkan perubahan fundamental di internal kepolisian. Perubahan di sini dimaksudkan dalam arti luas, bukan hanya pada tingkatan simbol tetapi struktur dan budaya.
Budaya permisivisme dan baking membaking yang menjalar hampir di seluruh institusi kepolisian menjadi pekerjaan rumah yang nyata bagi kapolda untuk segera diselesaikan. Budaya suap juga mencerminkan betapa rapuhnya institusi kepolisian negeri ini sehingga mafia hukum mampu mendikte seluruh berkas perkara yang ada.
Untuk menjawab problem itu, maka pembenahan di tubuh polri mendesak dilakukan. Di sisi lain peran masyarakat sipil dalam memberi koreksi yang konstruktif terhadap polri menjadikannya model kontrol yang efektif didalam negara demokrasi. Dengan pimpinan polri yang relatif lebih bersih ditopang sistem kerja yang baik dan anggaran yang cukup serta kontrol dari masyarakat sipil yang efektif, masyarakat berharap ada perbaikan signifikan di kepolisian.
* Penulis adalah Dosen Fak Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
MENARIK untuk dicermati kembali sekaligus sepatutnya memberikan apresiasi kepada Kapolda Aceh Irjen (Pol) Iskandar Hasan, yang mengatakan bahwa rekrutmen polisi Aceh mendatang harus berbasis dayah, dengan melibatkan Tim seleksi dari MPU Aceh, seperti dilansir Harian Serambi Indonesia (Kamis 15-12-2011). Pernyataan Kapolda tersebut dilatarbelakangi banyaknya anggota polisi di Aceh selama ini terindikasi bermoral buruk, terlibat transaksi narkoba, bahkan tidak kurang dari seribuan anggota polisi di Aceh terindikasi mengonsumsi barang haram tersebut.
Penulis, mungkin termasuk pembaca mengakui dan tak bisa menafikan bahwa tugas polisi sangat strategis dan mulia dalam menjaga kamtibmas, tentu kita dapat membayangkan bagaimana bila satu hari tidak ada polisi, sungguh semraut lalulintas di jalan raya, pencuri dan perampokan bergentayangan di mana-mana. Namun di sisi lain keberadaan polisi belum sepenuhnya memberikan rasa aman bagi masyarakat, bila masih saja terjadi seperti diistilahkan “pagar makan tanaman”. Sampai kapan bangunan sistem “kepolisisan” ke depan jauh lebih berwibawa profesional dan dihormati rakyat.
Agaknya langkah panjang ke arah polri yang lebih professional masih jauh panggang dari pada api. Pembenahan struktural, kultural dan refinement menuju polisi sipil yang lebih professional sedikitnya membutuhkan 17 tahun ke depan (bila meminjam istilah Bowran Sivilinisasi oleh Mike Bowran). Pertanyaannya apakah kepolisian dapat mengubah dirinya sendiri jika terus menerus di bawa ke ranah politik tak berujung dan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan. Padahal tugas dan tantangan polri ke depan semakin kompleks di tengah citra polisi yang semakin hari semakin terpuruk dihempas isu suap dan beberapa skandal korupsi. Kepercayaan masyarakat pun semakin menurun terhadap institusi penegak hukum terutama kepolisisan RI. Ini dapat dilihat dari beberapa indikator:(a) memiliki sikap apatis terhadap proses penegakan hukum (b) masyarakat lebih memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah (c) maraknya organisasi massa pemicu kekerasan (d) lemahnya institusi penegakan hukum terlihat dari mudahnya aparat penegak hukum disuap sehingga mampu memutarbalikkan fakta hingga perkara semakin jauh dari subtansi yang diinginkan oleh para pencari keadilan.
Masyarakat masih melihat kepolisian hari ini sama dengan penegak hukum kebanyakan. Dalam konsepsinya, polisi ditempatkan sebagai pintu masuk keroposnya proses dan penegakan hukum. Tidak dapat diingkari di kalangan kepolisian sendiripun banyak terlibat asusila dan amoral, ada pihak yang coba cari selamat dari jerat hukum perkara kriminal dan penyalahgunaan wewenang termasuk pelanggaran qanun syariat di Aceh. Nampaknya Kapolda Aceh ingin memperbaiki itu semua, sekaligus membawa potret polisi Aceh ke arah Islami. Dan berbasis syariah
Kembali ke khittah
Secara normatif, kerja kepolisian dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) penegak hukum (2) penjaga ketertiban dan keamanan (3) pelayanan publik. Namun dengan semakin dinamis perkembangan masyarakat semakin beragam pula tantangan kerja kepolisian di masa depan. Kinerja kepolisian semakin dominan di hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu pentingnya fungsi dan peran sehingga polri menjadi titik sentrifugal di bidang penegakan hukum. Pilihan untuk menjadikan polri semakin professional tidak dapat ditawar-tawar lagi. Memiliki polisi sipil yang dicintai rakyat dengan segudang keahlian hari ini hanya masih menjadi mimpi, namun bukan berarti tidak mungkin. Demokratisasi yang sedang berlangsung ditambah kekuatan masyarakat sipil yang sedang tumbuh mengawal proses reformasi yang ada ditubuh polri sekarang ini. Sampai di sini tentu kita sulit masih menemukan jawaban yang tepat dan menggembirakan atas persoalan membangun kepolisian pada wilayah masyarakat sipil yang solid dan kuat, karena secara internal dalam tubuh polri masih banyak menyimpan bibit kerusakan dan virus-virus yang dapat mengatarkannya kepada kelumpuhan bahkan kematian.
Polisi Islami
Program merekrut calon polisi di Aceh berbasis dayah patut mendapat dukungan semua elemen masyarakat Aceh, seperti dicetuskan Kapolda. Calon polisi Aceh nantinya diutamakan dari lulusan dayah atau aliyah, karena ke depan dibutuhkan polisi yang baik dan berakhlakul karimah. Buat apa polisi gagah, ganteng, tapi moralnya bobrok. Bagaimana polisi bisa menegakkan hukum kalau diri mereka sendiri tidak “sadar hukum”, malahan menggerogoti supremasi hukum.
Menurut Kapolda polisi yang bermoral adalah mereka yang berprilaku baik, beraklak mulia. Secara keilmuwan memiliki kemampuan di bidang agama dan pengamalan syariat dengan baik. Untuk mendukung rencana baik tersebut, maka indikator baik tidaknya calon polisi yang akan diterima dilihat dari beberapa aspek antara lain; (a) mampu dan disiplin menjalankan perintah Allah Swt seperti shalat, dan tidak pernah terlibat kasus kriminal dan tersangkut dengan narkoba. (b) mampu membaca al-Qur’an dengan baik (c) memiliki keahlian memberi ceramah atau khatib Jumat, (d) mampu menjadi imam shalat, dan (e) juga diharapkan mampu melaksanakan tajhiz mait, bila sewaktu-waktu diperlukan.
Figur bagi rakyat
Meski secara formal polisi selama ini telah menjadi sipil dan tidak lagi menjadi bagian dari militer, bukan berarti cara-cara kekerasan telah menjauh dari institusi polisi. Pandangan ini sama sekali tidak bermaksud menyudutkan institusi kepolisian dan upaya penting yang telah dilakukan kepolisian selama ini. Tetapi upaya mengembalikan polri ke khittahnya belum cukup saat kepolisian masih terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat dan permainan uang, mengabaikan tugas kepolisian yang sesungguhnya, serta polisi masih sebagai instrument kekerasan.
Kemapanan yang sekarang ada bukan berarti tidak dapat tersentuh oleh tangan-tangan perubahan, realitas yang ada menunjukkan masih banyaknya perwira polri yang menginginkan perubahan fundamental di internal kepolisian. Perubahan di sini dimaksudkan dalam arti luas, bukan hanya pada tingkatan simbol tetapi struktur dan budaya.
Budaya permisivisme dan baking membaking yang menjalar hampir di seluruh institusi kepolisian menjadi pekerjaan rumah yang nyata bagi kapolda untuk segera diselesaikan. Budaya suap juga mencerminkan betapa rapuhnya institusi kepolisian negeri ini sehingga mafia hukum mampu mendikte seluruh berkas perkara yang ada.
Untuk menjawab problem itu, maka pembenahan di tubuh polri mendesak dilakukan. Di sisi lain peran masyarakat sipil dalam memberi koreksi yang konstruktif terhadap polri menjadikannya model kontrol yang efektif didalam negara demokrasi. Dengan pimpinan polri yang relatif lebih bersih ditopang sistem kerja yang baik dan anggaran yang cukup serta kontrol dari masyarakat sipil yang efektif, masyarakat berharap ada perbaikan signifikan di kepolisian.
* Penulis adalah Dosen Fak Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.