HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Kami Sudah Muak dengan Konflik

Foto | Atjeh Post Oleh Barmawi Arus konflik mulai tercium sejak para elit Aceh berseteru paskapencabutan Pasal 256 Undang-undang Nomor 1...

Foto | Atjeh Post
Oleh Barmawi
Arus konflik mulai tercium sejak para elit Aceh berseteru paskapencabutan Pasal 256 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang merupakan turunan dari MoU Helsinki sebagai konsesus politik dari penyelesaian konflik Aceh selama 32 Tahun secara damai, menyeluruh, dan bermartabat dalam Konstitusi Republik Indonesia.

Mungkin itu hanya sebatas alasan untuk melihat seluruh persoalan yang akan berujung kepada ketidak stabilan keamanan di Aceh. Tapi kami cuma orang awam yang cinta damai, tak ingin terlibat dalam pembahasan hukum yang belum mengerti asal mula kepentingan para elit. Walau berjuta alasan pembenar dan lontaran kata di media masa, kami tak perduli soal itu.


Yang kami bisa lihat adalah bila mereka tak bisa bersikap bahwa damai di atas segalanya untuk kepentingan rakyat, maka kami hanya bisa meratapi nasib perdamaian Aceh di masa depan. Kepentingan dalam kekuasaan seringkali mengorbankan rakyat kecil, baik di negara kita atau di belahan dunia lain, sebagaimana terlihat dalam perkembangan politik pada masa ini.
Bagi kami orang awam, celotehan elit itu hanya sekedar pembenaran bagi para manusia yang haus kekuasaan. Pada hakikatnya, manusia semua sama di mata sang Pencipta, tidaklah layak bagi manusia lain yang memiliki ambisi kekuasaan untuk mengorbankan manusia lain sebagai persugihan untu mencapai seluruh  tujuan hidupnya.
Apa pun alasan, seluruh manusia memiliki hak yang sama, kedudukan yang sama walau kepentingan berbeda. Mungkin itu hanya sebatas pandangan bagi kami orang awam yang cinta damai dalam melihat Aceh Hari ini.

Kami oram awam yang tidak mengerti politik, yang tidak bisa menerjemahkan hukum sebagai mana kepentingan kami. Kami hanya bisa berharap kepada seluruh elit politik Aceh dan penguasa saat ini untuk melihat kami walau sebagai pengemis yang meminta belas kasihan dalam menjaga perdamaian. Lihatlah, perdamaian baru kami rasakan. Kami belum sempat menikmati seluruhnya dalam menata hidup kami yang tertinggal jauh dari orang-orang yang hidup damai di belahan dunia lainnya.

Kami memohon belas kasihan dari Gubernur, Bupati, Wali Kota, DPRA, dan DPRK Kabupaten Kota dan seluruh unsur terkait lainnya, tolong segera hentikan seluruh kegiatan yang bernuasan pada perpecahan dan permusuhan. Ketahuilah wahai para elit, apa yang kalian ributkan itu membuka peluang dimanfaatkan pihak lain untuk menciptakan konflik baru di bumi Aceh yang berujung pada pengerahan pasukan sebagai alasan keamanan.

Selesaikan masalah regulasi dengan kekeluargaan yang selama ini menjadi alasan dari seluruh unsur masalah baru. Tolong utamakanlah kepentingan rakyat dan perdamaian Aceh. Dukunglah sepenuhnya pihak kepolisian dalam mengungkap kasus penggranatan dan penembakan yang sudah mengusik damai Aceh.

Kami orang awam tidak meminta disediakan beras gratis tiap bulan, kami orang awam tidak mengharapkan disantuni setiap hari besar, kami hanya ingin damai itu dipelihara baik-baik.
Kami sudah sangat lelah dengan konflik, kami sudah tidak sanggup lagi mencium bau mesiu, kami tidak sanggup lagi mendegar peluru nyasar, kami tidak sanggup lagi mencium bau amisnya darah, kami sudah muak mendengar sebutan OTK. Dan yang jelas kami sudah muak dengan konflik, kami ingin damai, kami ingin damai, dan ingin damai.

Dengarlah sedikit saja keluhan kami, berikan sedikit belas kasihan kepada kami,  karena kami telah memberikan kepercayaan kepada penguasa negeri ini. Kamilah yang meningkatkan taraf hidup penguasa di negeri ini, keringat kamilah yang telah menghidupkan anak istri penguasa negeri ini, kami telah memberikan begitu banyak buat penguasa negeri ini, kami hanya minta pada penguasa negeri ini pelihara damai sebagai tujuan dari seluruh kepentingan.

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Fisip Universitas Malikussaleh.
Sumber : The Atjeh Post