HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Aceh Tamiang Laksanakan Seminar Perlindungan Lingkungan Hidup

Google Dengan meningkatnya frekuensi bencana di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini, menjadi indikasi kuat tingkat kerusakan lingkungan...

Google
Dengan meningkatnya frekuensi bencana di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini, menjadi indikasi kuat tingkat kerusakan lingkungan hidup yang sedang dihadapi masyarakat. “Menurut kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan dari total kejadian bencana itu, sekitar 79 persennya merupakan bencana yang terkait dengan cuaca dan iklim berupa banjir, longsor, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan serta gelombang pasang”, kata Bupati Aceh Tamiang.


Kabupaten Aceh Tamiang juga tidak luput dari trend bencana ini. Tercatat serangkaian bencana banjir mulai dipandang sebagai bencana rutin oleh masyarakat, baik masyarakat yang tinggal dihilir maupun dihulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. “Banjir bandang di penghujung tahun 2006 yang lalu telah membawa korban nyawa dan juga harta benda masyarakat seakan member pesan tegas tentang kerusakan lingkungan yang sedang dialami Bumi Muda Sedia ini”, kata Drs. H. Abdul Latief, di Aula SKB Karang Baru, Jum’at (2/12).

Pada seminar yang diselenggarakan Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Aceh Tamiang dan People’s Crisis Centre (PCC) yang mengundang pemateri dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), Lembaga Penerapan Teknologi Pedesaan (LPTP) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh. Bertemakan Program Peningkatan Kapasitas dan Pendampingan Masyarakat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bupati mengingatkan dengan lahirnya Qanun Aceh Nomor 02/2011 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dianggap menandai babak baru gerakan penyelamatan lingkungan hidup.

Menurut dia, upaya yang harus dilakukan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan, yaitu dengan cara sistematis dan terpadu baik dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukumnya.

Saat dikonfirmasi perwakilan People’s Crisis Centre, Basri mengatakan “Rangkaian kegiatan seminar perlindungan dan aksi penyelamatan lingkungan hidup dibawah koordinasi BLHK Aceh Tamiang. Target kegiatan seminar dan aksi penyelamatan, agar masyarakat mengetahui UU Nomor 32/2009 tentang lingkungan hidup”, ujarnya.

Ia menyebutkan, kegiatan ini merupakan lanjutan kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Tamiang yang bekerjasama dengan Early Warning Sistem (EWS), sehingga direspons oleh KLH.

“Program ini merupakan program nasional khusus untuk Propinsi Aceh. KLH manargetkan bentuk sosialisasi UU Nomor 32/2009 tentang Lingkungan Hidup di tiga daerah yakni, Kabupaten Aceh Tamiang, Kotamadya Lhokseumawe dan Kabupaten Bireun. Kegiatan kampanye ini berlangsung selama 2 hari, hari ini (Jum’at, 2/12) seminar, esok (Sabtu, 3/12) aksi nyata di Kampung Matang Ara Jawa, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang”, tukas Basri.

Pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta dari BLHK Aceh Tamiang Kabid Amdal Abdul Manan merasa dari paparan Ketua JKMA Abdul Manaf, tidak menyentuh tentang keterkaitan pengelolaan lingkungan hidup dengan adat Aceh. “Apakah yang memaparkan dari JKMA yang benar pemangku adat atau hanya sekedar pemateri?”, tanya Kabid Amdal BLHK itu.

Abdul Manaf yang notabene ketua JKMA menjawab, “Sebelumnya saya sudah katakan, bahwa saya bukan ahli adat tetapi hanya pemateri didalam kegiatan seminar kampanye perlindungan lingkungan hidup ini”, jawab ketua JKMA itu.

Pada akhir sesi paparan, aktivis lingkungan dari Walhi Aceh M. Nizar Abdurrani secara singkat dan gamblang memaparkan, “Perubahan iklim bisa dilihat dengan meningkatnya suhu, ini bisa dibuktikan dari deforestasi hutan tropis. Emisi dari pembakaran industry, efek rumah kaca kandungan karbon berpengaruh dengan temperatur”, papar aktivis Walhi tersebut. (Rico. F).