HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Menuju Polisi Rakyat

Saifuddin Bantasyam | OPINI Tanggal 1 Juli kemarin diperingati hari Bhayangkara, hari jadi kepolisian RI (Polri). Polda Aceh menyambut H...

Saifuddin Bantasyam | OPINI

Tanggal 1 Juli kemarin diperingati hari Bhayangkara, hari jadi kepolisian RI (Polri). Polda Aceh menyambut HUT-nya itu dengan meluncurkan sebuah program berjuluk ngobrol-ngobrol dengan Kapolda Aceh, “Polisi dan Masyarakat Harus Bagaimana?” yang pergelaran pertamanya berlangsung di Ring Road Cafee pada Sabtu 25/6 malam lalu.

Malam itu, Pak Kapolda kita, Iskandar Hasan, betul-betul tampil sangat sipil. Pak Kapolda agaknya menyadari betul bahwa di antara dua penegak hukum lainnya, yaitu jaksa dan hakim, maka polisi-lah yang sangat kuat struktur sosiologisnya. Jika jaksa dan hakim bekerja delapan jam sehari, maka polisi bekerja selama 24 jam. Itu sebabnya, polisi diibaratkan sebagai ikan yang berenang dalam sebuah kolam air bernama masyarakat, dan sekali keluar dari kolam itu, maka riwayat polisi pun akan tamat.

Saat menyambut usia yang sudah tahun ke-65, Polri memang tak bisa lain selain harus melakukan berbagai jurus untuk membuat polisi dekat dengan masyarakat, atau membuat polisi ada dalam hati masyarakat. Tetapi mengubah image polisi di mata publik bukan hanya butuh banyak jurus, melainkan juga butuh waktu lama. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, masih terdapat pandangan-pandangan yang tak baik terhadap polisi. Seorang teman saya misalnya bercerita, ketika seorang bayi yang sedang menyusui menangis, ibunya kemudian berkata, “jika terus menangis, nanti akan saya antar kamu ke polisi.” Sekejap kemudian, sang bayi terdiam. Telepon lain yang saya terima mengatakan polisi sudah bagus, “namun tolong ingatkan soal perilaku polisi lalu lintas.” Informasi tentang adanya tebus menebus dalam kasus tertentu juga saya dengar.

 Transformasi
Polri sesungguhnya bukannya tanpa reformasi dan transformasi, utamanya setelah bukan lagi bagian dari angkatan militer, dan berubah menjadi kekuatan sipil pasca pemberlakuan UU No. 2/2002. Perubahan itu sedemikian luas mulai dari struktur dan manajemen organisasi kepolisian sampai kepada pola-pola pendekatan dalam melaksanakan fungsi, kewenangan dan tugas-tugas kepolisian. Di sana dan di sini, berbagai perubahan itu telah dapat dirasakan hasilnya dengan satu dan lain cara. Kini, menemukan polisi yang berkumis terasa sangat sulit. Kebanyakan ganteng dan atletis, bersih, necis, tak ada lagi yang perut buncit dengan kelebihan berat badan.

Menurut Lynch (1995), efektivitas dalam mencapai tujuan sebuah organisasi, seperti organisasi kepolisian (saya kira demikian), tergantung pada proses manajemen. Proses itu berada pada tiga area, yaitu (1) faktor teknis, (2) faktor perilaku/psikologis, dan (3) faktor fungsional. Saya kira, kita setuju bahwa kemampuan teknis kepolisian sudah sedemikian meningkat. Banyak kasus kejahatan yang sangat kompleks yang berhasil dibongkar oleh polisi dalam waktu beberapa hari saja. Kemampuan Polri menghancurkan jaringan terorisme di Indonesia, termasuk di Aceh, juga diapresiasi oleh dunia internasional. Fungsi yang dijalankan membuat Polri tiba pada beberapa output yang mereka sudah rancang sebelumnya. Namun pada aspek perilaku, tentu ada pula cerita-cerita gagal, sesuatu yang sebenarnya lumrah semata, namun akan menjadi masalah jika tak dibarengi oleh sebuah komitmen tiada hari tanpa peningkatan perilaku.

Saya terkesan dengan konsep “community policing” yang diterjemah dengan istilah “pemolisian” atau “perpolisian masyarakat” (disingkat dengan Polmas). Dalam konteks apa yang dikemukakan oleh Lynch di atas, Polmas berada pada area yang kedua. Polmas ini diarahkan kepada kemitraan polisi dengan masyarakat bagi peningkatan peran masyarakat dalam kaitannya dengan tugas-tugas polisi menjaga ketertiban dan mencegah atau menangani kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Program ini juga didasarkan pada pemikiran bahwa interaksi dan dukungan masyarakat dapat membantu mengontrol kejahatan dan mengurangi rasa takut masyarakat, di dalam mana masyarakat membantu mengidentifikasi tersangka, menangkap pelaku kejahatan, dan membawa mereka kepada polisi.

 Partisipasi rakyat
Tetapi untuk bisa berhasil menjalankan misi ke-polmasan-nya, bukannya tanpa syarat. Polmas adalah proyek mengubah mentalitas, tidak sekadar berada di wilayah kognitif, melainkan motorik dan afektif sekaligus. Dengan kata lain, ada banyak prasyarat yang harus dimiliki oleh polisi dalam mengembankan misi Polmas-nya, termasuk perubahan manajemen dan budaya. Polisi harus mampu dengan jeli mengenali nilai-nilai, yang bersifat abstrak, dan norma-norma yang bersifat kongkrit, di tengah masyarakat (Giddens, 2007). Polisi juga harus memiliki kemampuan membaur dengan masyarakat, bersikap luwes, apresiatif, adil, berani mengatakan kebenaran, tidak mengenal istilah kalah-menang, professional, tidak melibatkan masalah pribadi, mengakui kesalahan, menerima tugas-tugas sulit, tetap fokus, dan efisien.

Membaca serangkaian hal yang harus dimiliki ini seperti ada semacam keharusan berkarakter kenabian pada diri polisi, sesuatu yang sungguh sulit untuk dicapai. Namun, ke arah itu pula-lah perahu polisi harus didayung untuk membuat polisi menjadi polisi rakyat.

Partisipasi rakyat memang kata penting. Memang ada penelitian bahwa di beberapa distrik di Amerika Serikat ternyata angka kejahatan tetap tidak menurun meskipun masyarakat telah berpartisipasi membantu polisi, namun di distrik-distrik lain angka kejahatan bisa menurun sampai 10% sebab masyarakat mau bekerjasama dengan polisi.

Saya mencoba mengetes dengan survei sederhana tentang Polmas dan pandangan umum masyarakat melalui facebook dan handphone dan berhasil menjaring 129 responden. Hasilnya cukup bagus, namun juga ada hal yang mengkhawatirkan. Misalnya, 81% responden menjawab bahwa polisi belum akrab dengan masyarakat, dan 65% menyatakan tidak nyaman saat berada dekat dengan polisi. Namun saya bergembira hati menemukan fakta bahwa 76% responden mau memberitahu polisi setiap kali warga masyarakat mengetahui ada kejahatan di lingkungan mereka. Masyarakat sangat percaya tentang pentingnya peran atau partisipasi mereka dalam membantu tugas-tugas kepolisian; bahkan 84% responden percaya polisi akan gagal tanpa bantuan masyarakat. Akan halnya tentang program Polmas sendiri, jajaran Polda Aceh patut bergembira sebab 91% responden menjawab bahwa mereka pernah mendengar tentang Polmas.

Tetapi berhenti pada tahap masyarakat tahu Polmas saja tidak cukup. Saya pikir, saat HUT ke-65 ini, peningkatan pencintraan di mata publik merupakan satu kemutlakan. Polda Aceh perlu semakin menyempurnakan rancangan aksi yang memungkinkan masyarakat sendiri berubah sikap bersama-sama dengan perubahan pada sikap anggota polisi. Soal keakraban dan soal membuat rakyat senang saat berdekatan dengan polisi saya kira inti penting program Polmas, dan karena Polda Aceh perlu melakukan sesuatu yang membuat masyarakat menjadi semakin nyaman, membuat mereka mau menjadikan diri sebagai “polisi” juga sehingga tugas polisi menjadi lebih ringan, dan masyarakat pun menjadi lebih tertib dan aman. Dirgahayu Bhayangkara ke-65, semoga betul-betul menjadi polisi rakyat.

*Saifuddin Bantasyam adalah Dosen Fakultas Hukum. Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah.