HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Warkop untuk Pendidikan

Jarjani Usman | OPINI Ilustrasi | Google Seseorang filosof Perancis, Pierre Bourdieu (sebagaimana disitir Nasir & Hand, 2006) meny...

Jarjani Usman | OPINI

Ilustrasi | Google
Seseorang filosof Perancis, Pierre Bourdieu (sebagaimana disitir Nasir & Hand, 2006) menyatakan bahwa reproduksi sosial dalam masyarakat dimediasi oleh budaya. Ada budaya yang mengungkit kesuksesan di sekolah, ada juga yang menimbulkan kegagalan (di sekolah). Pendapat filosof yang juga antropolog dan sosiolog ini penting untuk melihat masyarakat Aceh yang memiliki budaya khusus di warung kopi.

Kalau dicermati, cara masyarakat Aceh duduk di warung kopi (warkop) memiliki beberapa karakteristik yang membantu proses pembelajaran. Meskipun tidak terorganisir, rata-rata orang yang datang ke warung kopi duduk berkelompok-kelompok, tak tertekan secara psikologis dalam mengemukan pendapat, dan memperbincangkan berbagai tema, mulai dari berita yang sedang hangat dalam masyarakat hingga bisnis. Dalam pandangan sejumlah ahli pendidikan, seperti Paulo Freire dan Lev Vygotsky, cara-cara ini dikatakan termasuk dalam proses pembelajaran aktif.

Menurut Freire (1993), pembelajaran aktif yang sifatnya tematik dan berhubungan dengan masalah-masalah yang sedang berkembang dalam masyarakat sekitar, sangat penting dalam melakukan transformasi dalam suatu masyarakat. Namun, menurut pakar terkenal dari Brazil itu, masyarakat harus mampu menyeleksi hal-hal yang sifatnya opresif atau bersifat menindas. Untuk itu, kritis dalam mencermati hal-hal yang bersifat menindas, sangat penting dimiliki. Di antara hal-hal yang bersifat menindas itu adalah masalah kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, pengistimewaan sekolah tertentu dibandingkan dengan yang lain, dan sebagainya.      

Kenapa kemiskinan, ketidak-adilan, korupsi, pengistimewaan sekolah tertentu dibandingkan dengan yang lain, bersifat menindas?  Alasannya, praktik-praktik seperti ini akan melestarikan hegemoni atau dominasi orang-orang bermodal terhadap masyarakat yang lain yang tidak punya modal. Korupsi, misalnya, tentunya bertujuan untuk mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya. Dengan modal tersebut, mereka bisa tetap berfungsi sebagai majikan yang bisa mengatur sesuka hati orang-orang tak bermodal (Heilbroner, 1991).

Bukan hanya itu, dengan uang yang banyak itu, mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang bagus.  Sedangkan anak-anak orang miskin hanya sekolah di sekolah-sekolah biasa. Cara sekolah seperti inilah yang disebut oleh Bowles dan Gintis (1977) sebagai ketidakadilan yang akan terus melahirkan strata masyarakat kelas tinggi dan kelas rendah.

Budaya di Kelas
Namun yang menjadi hal mengherankan adalah budaya aktif yang sudah mengakar di warung kopi (warkop) dalam masyarakat Aceh tidak berimplikasi banyak terhadap budaya pembelajaran dalam kelas.

Dalam pembelajaran di dalam kelas yang seharusnya menerapkan pembelajaran aktif, malah banyak dilaksanakan secara sebaliknya atau dalam istilah Freire disebut “Banking Concept of Education” (Kincheloe, 2008). Padahal sejumlah penelitian membuktikan bahwa pembelajaran aktif sangat penting terutama dalam meningkatkan semangat belajar, mengakomodir keragaman pola belajar pelajar, menjadikan anak menjadi kreatif, menciptakan demokrasi di kelas, dan mempertahankan ingatan terhadap hasil belajar.

Pola pendidikan seperti ini berdampak buruk di kelas. Guru selalu menganggap dirinya benar, sedangkan murid harus selalu menjadi tong yang akan terus diisi tanpa penolakan. Anak-anak menjadi suka diam, ketimbang berbicara. Padahal yang belajar adalah anak-anak, yang seharusnya guru membantu cara belajar anak. Menurut para ahli pendidikan, tidak semua yang dibilang guru itu benar. Sebagiannya hanya infomasi, bukan pendidikan. Pendidikan ada nilai seperti keadilan, sedangkan informasi hanya bersifat menambah pengetahuan.

Mungkin pola pembelajaran seperti ini tidak selamanya karena guru, tetapi juga pihak yang menghasilkan guru, seperti para dosen di perguruan tinggi (LPTK).

Ada pengajar perguruan tinggi yang memahami konsep pembelajaran aktif dengan transfer of knowledge. Padahal, dalam pembelajaran aktif berlaku construct of knowledge, keterampilan, dan nilai. Transfer of knowledge sifatnya guru yang aktif, sedangkan construct of knowledge mensyaratkan murid yang aktif, karena muridlah yang berperan penting dalam mengonstruksi belajarnya dalam bentuk pengetahuan, ketrampilan, dan nilai.

Tidak adanya implikasi pola aktif ala warung kopi yang sudah membudaya dalam masyarakat terhadap pola belajar di kelas mengindikasikan bahwa pendidikan di Aceh khususnya belum sensitif terhadap atau bercorak budaya lokal. Ini sungguh ironis.  Alasannya, menurut Vygotsky dalam teori sociocultural, budaya dan keadaan sosial peserta didik banyak membantu kesuksesan belajar mereka. Hal sudah banyak diteliti kebenarannya di berbagai belahan dunia (Brooks-Gunn & Duncan, 1997; Hickey & Zuiker, 2005; Rutter, 1985; Sirisatit, 2010).

Absennya budaya lokal dalam proses pembelajaran menimbulkan suatu kecurigaan. Jangan-jangan pola pembelajaran yang dilaksanakan di kelas dalam beberapa taraf tertentu masih banyak menganut pola penjajahan (semua tidak) yang mengharuskan rakyat terjajah untuk senantiasa tunduk kepada kumpeni dan tidak boleh berkutik. Pelajar sengaja diciptakan agar tidak kritis dan kreatif karena bisa menganggu penjajahan mereka. Hanya anak-anak orang-orang yang tunduk dan bekerja kepada penjajah yang dibolehkan sekolah di tempat-tempat yang bagus. Akibatnya, negara jajahan akan sulit maju dan terus menjadi lahan empuk para penjajah.   

Kecurigaan ini bisa menemukan titik terang bila menghitung perbedaan jumlah waktu hidup masyarakat Indonesia di masa kemerderkaan (67 tahun) jauh lebih sedikit dibandingkan waktu hidup di masa penjajahan (358 tahun lebih). Hal ini biasanya berdampak terhadap pola pikir masyarakat dalam waktu yang lama. Karena itu, penting kiranya kita mengembalikan pola pendidikan yang berdasarkan budaya lokal, misalnya, dengan memasukkan pola belajar di warung kupi, tapi terorganisir.   

* Penulis adalah mahasiswa program doktor pendidikan, Deakin University, Australia.