HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Politik Mahasiswa

Yuli Rahmad | Opini Kendala sebagai mahasiswa, pesta demokrasi tak ubahnya sebuah transaksi ekonomi baik dalam skala kecil, s...

Yuli Rahmad | Opini

Kendala sebagai mahasiswa, pesta demokrasi tak ubahnya sebuah transaksi ekonomi baik dalam skala kecil, sedang, maupun besar. Dalam Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif 2009 lalu misalnya. Sejumlah rekan mahasiswa yang sekampung diajak pulang kampung untuk menyemarakkan Pemilu. Tentunya untuk memilih kandidat yang memberikannya akses pulang kampung dan sedikit isi kantong.


Agen-agen suara ini tak lain tokoh-tokoh mahasiswa yang menaungi sejumlah organisasi mahasiswa dan pelajar. Mereka terbilang lihai dalam memanfaatkan kondisi dan kapasitasnya sebagai pimpinan di organisasi tertentu. Lumrahnya, target utama mereka adalah mahasiswa-mahasiswi yang baru menapaki kakinya di perguruan tinggi.


Berbicara mengenai organisasi mahasiswa, sebenarnya bukanlah hal yang baru jika kemudian banyak pihak menyadari arah orientasi dan dukungan politiknya. Sebut saja seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sudah lahir pada 5 Februari 1947. Kendati ruh berdirinya murni karena gerakan sosial masyarakat yang diusung Lafran Pane, namun perjalanan HMI diwarnai dengan gerakan politik praktis.


Misalnya HMI mulai menasbihkan diri secara eksplisit sebagai underbouw Masjumi. Hal itu bisa dilihat dari pendekatan ideologi dan historis yang menunjukkan betapa sangat banyak pendiri dan penggerak HMI berasal dari Masjumi. Menariknya, sejalan dengan kematangan HMI, organisasi massa Islami ini mengalami dinamika. Sejak Pemilu 1971, beberapa kader HMI mulai “menikah” dengan Partai Golkar. Ali Moertopo dan Akbar Tanjung “menyetubuhi” partai berlambang beringin ini.


Di Aceh, gerakan HMI yang berbalut politik praktis sudah santer dibicarakan sejak digelarnya Kongres HMI ke-17 di Lhokseumawe pada 1988. Bahkan pada saat itu, Sekjen PB HMI Abdul Wahab menyebutkan hampir 90 persen orang tua anggota HMI memilih haluan politik ke Partai Golkar. (Tempo, 2 Juli 1988)


Faktanya, sederetan tokoh HMI seperti Sayed Fuad Zakaria, Sulaiman Abda besar bersama Golkar. Begitu pula sosok rektor Unsyiah Prof Darni Daud yang juga kader intelektual HMI digadang-gadang bakal maju dalam Pilkada 2011. Selain nama tersebut, banyak lagi nama-nama tokoh HMI lainnya mulai dari tua sampai muda yang mengaktualisasikan diri bersama Golkar.


Selain HMI, keberadaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga menarik disimak. Kendati gerakan tersebut tidak begitu fenomenal di kalangan mahasiswa Aceh, namun banyak sekali tokoh-tokoh politik Aceh yang besar melalui PMII. Sudah menjadi rahasia umum, PMII “intim” dengan Nahdlatul Ulama yang saban tahun menjadi representasi kekuatan politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di tengah-tengah masyarakat.


Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) juga memainkan gerakan tersendiri. Kendati mereka tak pernah mengakui keterlibatannya bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), namun tokoh-tokoh LDK dan KAMMI, khususnya yang berada di Aceh memilih PKS sebagai pilihan politik dan tentunya motor politik untuk melenggang ke parlemen. Di kampus, kegiatan-kegiatan mereka juga banyak diisi oleh tokoh-tokoh PKS yang tak lain alumninya.


Gerakan riil mahasiswa lokal Aceh yang dibungkus dalam Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) juga memiliki afiliasi dengan partai politik. Pada 2009 lalu, SMUR telah membangun dedikasinya kepada Partai Rakyat Aceh (PRA) yang gagal masuk ke parlemen. Kendati pergerakan PRA sulit dibaca karena terbatasnya ruang gerak politik, namun bukanlah hal baru jika PRA disebut-sebut intim dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P).


 Salahkah Itu?
Selain beberapa organisasi mahasiswa yang telah penulis uraikan, tentu Aceh memiliki segudang organisasi mahasiswa lainnya yang ikut berjibaku dengan politik praktis. Sekali lagi penulis meyakini, fenomena dan fakta tersebut bukanlah hal baru melainkan sudah menjadi rahasia umum yang acap kali dibicarakan di berbagai meja kopi.


Seterusnya tidaklah salah dengan pilihan politik tersebut bagi mahasiswa manapun. Sebagai warga negara yang mencintai nilai-nilai demokrasi, kita pun harus merelakan bahkan mendukungnya sehingga tercipta pola partisipasi politik masyarakat yang elegan dan santun. Akan tetapi ironis ketika perbedaan pilihan politik ini justru menjadi bumerang mahasiswa. Di Unsyiah misalnya, setiap tahun DETaK Unsyiah selalu merilis pertikaian antara sejumlah organisasi mahasiswa. Bahkan pada Mei 2010 lalu, beberapa kelompok mahasiswa terlibat tawuran yang mengganggu kenyamanan proses belajar mengajar.


Tidak saja di Unsyiah, IAIN Ar-Raniry juga punya cerita yang sama. Polemik pemilihan presiden mahasiswa setiap tahunnya disusupi kepentingan politik partai tertentu. Terakhir kita bisa menyaksikan bagaimana bergulirnya “bola api” kepentingan dalam pemilihan Presiden mahasiswa periode 2011-2012. Saat itu kelompok yang menamakan diri “Petisi 4-6-11” menolak Mubes Presma IAIN. Sudah menjadi rahasia umum elemen yang acap kali “manggung” dalam pemilihan presma tak lain kader LDK Kampus, HMI, kader simpatisan SIRA, dan beberapa elemen lainnya. (Serambi Indonesia, 5 Juni 2011). Yang menjadi titik poin dari perbedaan pilihan politik ini justru upaya “transfer dendam dan kebencian” yang dilakukan secara terus-menerus kepada generasi-generasi mahasiswa yang baru menyenyam pendidikan di bangku kuliah. Karenanya setiap tahun pula, mahasiswa-mahasiwa baru mulai mengekslusifkan diri menjadi LDK, SMUR, HMI, KAMMI, PMII, dan banyak lainnya untuk saling menjatuhkan.


Fenomena dan fakta ini sepatutnya menjadi otokritik bersama dalam menciptakan iklim politik yang bermartabat dalam Pilkada 2011 ini. Sudah waktunya, mantan-mantan tokoh mahasiswa yang kemudian berpolitik praktis mencabut akar-akar kebencian yang tumbuh subur di relung hati generasi muda. Tidaklah elok adik-adiknya selalu dijadikan alat untuk memuluskan jalannya menuju kursi pemerintah sebagai lumbung suara, sementara di lapangan mereka saling menghancurkan. Nah, selebihnya mahasiwa juga mesti rendah hati. Sudah terlalu lama menjadi boneka politik yang berpolitik tidak profesional. Kali ini haruskah lagi?


* Yuli Rahmad adalah mahasiswa Teknik Elektro, Unsyiah.