Hasan Basri M Nur | Opini KEBERADAAN manusia sebagai ciptaan paling sempurna (ahsanu taqwim) mulai “digugat” makhluk lain. Wib...
Hasan Basri M Nur | Opini
KEBERADAAN manusia sebagai ciptaan paling sempurna (ahsanu taqwim) mulai “digugat” makhluk lain. Wibawa manusia seakan luntur di hadapan seekor luwak (musang). Kopi dari kotoran (faeces) musang (paradoxurus hermaphrodites) menjadi minuman favorit yang diincar manusia modern di berbagai tempat.
Musang pun tampil bak selebriti dunia yang menjadi pembicaraan hangat di mana-mana. Jika selebriti diidolakan penampilan fisiknya, musang bahkan dikagumi hingga tahinya. Musuh bebuyutan ayam itu pun menjadi binatang peliharaan istimewa bagi petani kopi guna membantu mereka dalam memproduksi kopi cita rasa tinggi.
Kopi produksi usus musang harganya berlipat ganda dibanding kopi biasa yang bebas intervensinya, mencapai Rp2 juta/kg. Di salah satu warung kopi di Banda Aceh, misalnya, kopi pancung luwak dihargai Rp 15 ribu. Walau berharga selangit, namun ia tetap dicari. Ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya naluri manusia tetap menginginkan bahan pilihan untuk dipakai. Aspek inilah yang kerap luput dari perhatian produsen makanan dan bahan produksi lainnya.
Kegemaran warga Aceh mengonsumsi kopi luwak telah menimbulkan kontroversi hukum. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh belum memberikan pendapatnya di tengah kegelisahan pengusaha kopi luwak (Serambi, 30-31/5/2011). Sementara MPU Aceh Utara telah menyatakan halal mengonsumsinya setelah menyucikan noda najis dari bijian kopi. “Kalau setelah dicuci bersih dan disemai ternyata biji kopi itu masih bisa tumbuh, berarti kopi itu halal dikonsumsi. Biji kopi itu hanya sekadar bernajis. Dengan dicuci saja sudah hilang najisnya,” ujar Ketua MPU Aceh Utara, Tgk H Mustafa Ahmad (Serambi, 28/5/2011).
Kesigapan MPU Aceh Utara dalam merespons permasalahan aktual ini patut dipuji sehingga umat tidak linglung terlalu lama. Melarut-larutkan jawaban atas permasalahan ini dapat dianggap ketinggalan kereta karena pada 20 Juli 2010, MUI Pusat telah menyatakan halal mengonsumsi, memproduksi dan memasarkan kopi luwak (www.mui.or.id). Masyarakat Aceh dapat saja merujuk pada fatwa MUI Pusat jika MPU Aceh tidak segera memberikan pendapatnya.
Pesan moral
Seharusnya renungan dan kajian seputar kopi luwak tidak hanya sebatas persoalan halal haram mengonsumsinya, melainkan juga dapat menggali pelajaran lain yang dititipkan musang melalui kotorannya itu. Barangkali musang melihat perilaku manusia sudah mulai menyimpang dari tujuan dasar penciptaannya, sehingga ia pun hendak mengingatkan manusia tentang kejujuran, komitmen menjaga amanah dan nilai-nilai moral lain yang mulai dinistakan.
Berbeda dengan musang, manusia kerap mengelabui konsumen dalam memoles produknya yang dari luar terlihat sangat memikat tapi isi di dalamnya terkadang mengecewakan. Manusia kerap mengelabui manusia lain melalui pemalsuan merek, benda-benda bodong, produk prematur, mengurangi timbangan, hingga mengganti tanggal kadaluarsa. Sementara musang tidak pernah berdusta dalam melahirkan produknya. Keluaran kopi luwak tetap dalam standard baku yang tidak akan memunculkan komplain dari konsumen saat mencicipinya. Agaknya musang sangat yakin bahwa kebohongan itu pada waktunya pasti akan terbongkar. Karenanya dia tidak ingin dihakimi dan dituduh sebagai pengkhianat di kemudian hari.
Segala ciptaan Tuhan di muka bumi pasti memiliki hikmah, walau terkadang manusia enggan menghayatinya. Dalam Alquran, Allah memberi gambaran kehidupan beberapa binatang seperti lebah, semut dan burung-burung. Allah juga mengingatkan, walaupun manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna dari bentuk fisik disertai pemberian akal dan hati, namun karena kelengahannya dapat terjerumus dalam lembah kehinaan, bahkan lebih hina daripada binatang ternak (QS.Al-A’raf:179).
Walau sudah sejak dini diwarning Alquran, namun sebagian manusia tetap saja mengedepankan nafsu dalam menggapai ambisi walau harus menyakiti dan mengkhianati antarsesama. Pemberhalaan kekuasaan dan uang telah menjerumuskan manusia ke jurang kehinaan. Kisah penguasa yang mengeksploitasi rakyat kecil dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara haram dan batil menjadi cerita klasik dalam sejarah manusia. Tragisnya lagi, virus ini bahkan ikut menjangkiti kalangan akademisi dan agamawan yang sejatinya memainkan peran yang sesuai antara perkataan dan perbuatan. Ini terjadi karena dicampakkannya fungsi akal dan hati dan mengedepankan hawa nafsu. Akal seakan-akan hanya digunakan untuk memikirkan bagaimana caranya mengelabui.
Berbagai kerusakan terjadi akibat ulah manusia dan pada ujungnya manusia sendiri menjadi tumbalnya. Pemanasan global yang menggejala di abad modern diakui sebagai buah kerakusan manusia dalam eksplorasi dan ekploitasi lingkungan. Hujan yang sebenarnya rahmat dapat berubah menjadi banjir yang siap menyapu manusia. Perilaku ini sejak dini telah diprediksi Alquran (QS. Ar-Rum: 41), bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia dan manusia akan merasakan akibatnya.
Akhir-akhir ini perilaku manusia makin menjadi-jadi. Sebagian dari mereka enggan mengakui kesalahan dan kelemahan. “Kambing hitam” pun disiapkan sebagai legalitas untuk mengelak bertanggung jawab atas kegagalan. Padahal, sikap saling tuduh, saling hina, apalagi mencari “manusia hitam” tak pernah dilakonkan oleh hewan dalam sejarah hidupnya. Kambing tak pernah menyalahkan domba manakala santapan rumput telah duluan dihabisi domba. Harimau tak pernah menyiapkan pasukan perang untuk menyerbu serigala karena mencari nafkah di kawasannya. Musang tak pernah dengki pada tupai yang duluan memanen buah pepaya ranum. Rasa saling hormat dengan komitmen menjunjung aturan main dipatuhi oleh binatang, sehingga dendam dan perang saudara antarhewan terelakkan.
Kisah-kisah hidup hewan sejatinya menjadi renungan bagi manusia untuk mengembalikan jati dirinya agar terhindar dari cap lebih hina dari hewan ternak. Kisah musang yang tidak serakah melainkan menyisakan yang terbaik untuk dikonsumsi manusia dapat menjadi titik awal dalam memperbaiki sikap. Musang tidak membabat habis biji kopi milik petani, hanya menyortir bijian yang betul-betul telah matang dan kemudian mengolahnya untuk dicicipi manusia perlu dijadikan pelajaran agar kita saling mengasihi, memiliki solidaritas, dan tidak tamak.
Kita berharap agar mereka yang sedang duduk di kursi empuk pemimpin meninggalkan yang terbaik bagi rakyat dan generasi penerus sebagaimana musang meninggalkan kopi pilihan dari duburnya. Gugatan dan pesan moral dari musang yang ikut prihatin melihat nasib manusia sebagai pertanda bahwa negeri ini sudah berada di titik nadir dan perlu penyelamatan. Binatang mamalia yang hidup dalam kegelapan itu tak rela melihat manusia terjerumus dalam kehinaan dan melalui isyarat-isyarat kebinatangannya memberi nasihat kepada kita. Sungguh naif seorang pemimpin yang hanya senang pada kopi tahi musang tapi tak meninggalkan warisan apapun untuk anak cucu. Semoga!
* Penulis adalah dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Musang pun tampil bak selebriti dunia yang menjadi pembicaraan hangat di mana-mana. Jika selebriti diidolakan penampilan fisiknya, musang bahkan dikagumi hingga tahinya. Musuh bebuyutan ayam itu pun menjadi binatang peliharaan istimewa bagi petani kopi guna membantu mereka dalam memproduksi kopi cita rasa tinggi.
Kopi produksi usus musang harganya berlipat ganda dibanding kopi biasa yang bebas intervensinya, mencapai Rp2 juta/kg. Di salah satu warung kopi di Banda Aceh, misalnya, kopi pancung luwak dihargai Rp 15 ribu. Walau berharga selangit, namun ia tetap dicari. Ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya naluri manusia tetap menginginkan bahan pilihan untuk dipakai. Aspek inilah yang kerap luput dari perhatian produsen makanan dan bahan produksi lainnya.
Kegemaran warga Aceh mengonsumsi kopi luwak telah menimbulkan kontroversi hukum. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh belum memberikan pendapatnya di tengah kegelisahan pengusaha kopi luwak (Serambi, 30-31/5/2011). Sementara MPU Aceh Utara telah menyatakan halal mengonsumsinya setelah menyucikan noda najis dari bijian kopi. “Kalau setelah dicuci bersih dan disemai ternyata biji kopi itu masih bisa tumbuh, berarti kopi itu halal dikonsumsi. Biji kopi itu hanya sekadar bernajis. Dengan dicuci saja sudah hilang najisnya,” ujar Ketua MPU Aceh Utara, Tgk H Mustafa Ahmad (Serambi, 28/5/2011).
Kesigapan MPU Aceh Utara dalam merespons permasalahan aktual ini patut dipuji sehingga umat tidak linglung terlalu lama. Melarut-larutkan jawaban atas permasalahan ini dapat dianggap ketinggalan kereta karena pada 20 Juli 2010, MUI Pusat telah menyatakan halal mengonsumsi, memproduksi dan memasarkan kopi luwak (www.mui.or.id). Masyarakat Aceh dapat saja merujuk pada fatwa MUI Pusat jika MPU Aceh tidak segera memberikan pendapatnya.
Pesan moral
Seharusnya renungan dan kajian seputar kopi luwak tidak hanya sebatas persoalan halal haram mengonsumsinya, melainkan juga dapat menggali pelajaran lain yang dititipkan musang melalui kotorannya itu. Barangkali musang melihat perilaku manusia sudah mulai menyimpang dari tujuan dasar penciptaannya, sehingga ia pun hendak mengingatkan manusia tentang kejujuran, komitmen menjaga amanah dan nilai-nilai moral lain yang mulai dinistakan.
Berbeda dengan musang, manusia kerap mengelabui konsumen dalam memoles produknya yang dari luar terlihat sangat memikat tapi isi di dalamnya terkadang mengecewakan. Manusia kerap mengelabui manusia lain melalui pemalsuan merek, benda-benda bodong, produk prematur, mengurangi timbangan, hingga mengganti tanggal kadaluarsa. Sementara musang tidak pernah berdusta dalam melahirkan produknya. Keluaran kopi luwak tetap dalam standard baku yang tidak akan memunculkan komplain dari konsumen saat mencicipinya. Agaknya musang sangat yakin bahwa kebohongan itu pada waktunya pasti akan terbongkar. Karenanya dia tidak ingin dihakimi dan dituduh sebagai pengkhianat di kemudian hari.
Segala ciptaan Tuhan di muka bumi pasti memiliki hikmah, walau terkadang manusia enggan menghayatinya. Dalam Alquran, Allah memberi gambaran kehidupan beberapa binatang seperti lebah, semut dan burung-burung. Allah juga mengingatkan, walaupun manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna dari bentuk fisik disertai pemberian akal dan hati, namun karena kelengahannya dapat terjerumus dalam lembah kehinaan, bahkan lebih hina daripada binatang ternak (QS.Al-A’raf:179).
Walau sudah sejak dini diwarning Alquran, namun sebagian manusia tetap saja mengedepankan nafsu dalam menggapai ambisi walau harus menyakiti dan mengkhianati antarsesama. Pemberhalaan kekuasaan dan uang telah menjerumuskan manusia ke jurang kehinaan. Kisah penguasa yang mengeksploitasi rakyat kecil dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara haram dan batil menjadi cerita klasik dalam sejarah manusia. Tragisnya lagi, virus ini bahkan ikut menjangkiti kalangan akademisi dan agamawan yang sejatinya memainkan peran yang sesuai antara perkataan dan perbuatan. Ini terjadi karena dicampakkannya fungsi akal dan hati dan mengedepankan hawa nafsu. Akal seakan-akan hanya digunakan untuk memikirkan bagaimana caranya mengelabui.
Berbagai kerusakan terjadi akibat ulah manusia dan pada ujungnya manusia sendiri menjadi tumbalnya. Pemanasan global yang menggejala di abad modern diakui sebagai buah kerakusan manusia dalam eksplorasi dan ekploitasi lingkungan. Hujan yang sebenarnya rahmat dapat berubah menjadi banjir yang siap menyapu manusia. Perilaku ini sejak dini telah diprediksi Alquran (QS. Ar-Rum: 41), bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia dan manusia akan merasakan akibatnya.
Akhir-akhir ini perilaku manusia makin menjadi-jadi. Sebagian dari mereka enggan mengakui kesalahan dan kelemahan. “Kambing hitam” pun disiapkan sebagai legalitas untuk mengelak bertanggung jawab atas kegagalan. Padahal, sikap saling tuduh, saling hina, apalagi mencari “manusia hitam” tak pernah dilakonkan oleh hewan dalam sejarah hidupnya. Kambing tak pernah menyalahkan domba manakala santapan rumput telah duluan dihabisi domba. Harimau tak pernah menyiapkan pasukan perang untuk menyerbu serigala karena mencari nafkah di kawasannya. Musang tak pernah dengki pada tupai yang duluan memanen buah pepaya ranum. Rasa saling hormat dengan komitmen menjunjung aturan main dipatuhi oleh binatang, sehingga dendam dan perang saudara antarhewan terelakkan.
Kisah-kisah hidup hewan sejatinya menjadi renungan bagi manusia untuk mengembalikan jati dirinya agar terhindar dari cap lebih hina dari hewan ternak. Kisah musang yang tidak serakah melainkan menyisakan yang terbaik untuk dikonsumsi manusia dapat menjadi titik awal dalam memperbaiki sikap. Musang tidak membabat habis biji kopi milik petani, hanya menyortir bijian yang betul-betul telah matang dan kemudian mengolahnya untuk dicicipi manusia perlu dijadikan pelajaran agar kita saling mengasihi, memiliki solidaritas, dan tidak tamak.
Kita berharap agar mereka yang sedang duduk di kursi empuk pemimpin meninggalkan yang terbaik bagi rakyat dan generasi penerus sebagaimana musang meninggalkan kopi pilihan dari duburnya. Gugatan dan pesan moral dari musang yang ikut prihatin melihat nasib manusia sebagai pertanda bahwa negeri ini sudah berada di titik nadir dan perlu penyelamatan. Binatang mamalia yang hidup dalam kegelapan itu tak rela melihat manusia terjerumus dalam kehinaan dan melalui isyarat-isyarat kebinatangannya memberi nasihat kepada kita. Sungguh naif seorang pemimpin yang hanya senang pada kopi tahi musang tapi tak meninggalkan warisan apapun untuk anak cucu. Semoga!
* Penulis adalah dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.