HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Pertambangan Merusak Lingkungan?

M.Yasir Surya | Opini PERTAMBANGAN adalah trouble maker environment and deforestation atau tambang si perusak lingkungan sehingga lebih ...

M.Yasir Surya | Opini

PERTAMBANGAN adalah trouble maker environment and deforestation atau tambang si perusak lingkungan sehingga lebih baik moratorium dan tutup saja semua perusahaan ekstraktif tersebut. Itulah kesan yang kita sering dengar mengenai pertambangan selama ini. Apakah benar seperti itu?

Tidak ada yang salah mutlak dalam pelemparan argumen tersebut. Tidak perlu ditolak pula bahwa tambang itu merusak lingkungan. Hanya perlu sedikit pemilahan bahwa berbagai argumen yang dilontarkan dapat dikelompokkan menjadi dua: yang paham dan yang tidak paham tentang pertambangan. Argumen yang dilemparkan oleh pihak yang tidak paham dan kuantitasnya sangat besar telah menimbulkan persepsi negatif industri pertambangan dan menyesatkan publik dengan mengeluarkan berbagai statemen yang keliru.

Perspektif keliru ini yang perlu diluruskan agar terjadi sinkronisasi antara usaha pertambangan dengan persepsi publik. Perspektif itu di antaranya, pertama, pernyataan bahwa seluruh kegiatan pertambangan menghancurkan fungsi hutan karena membuka lahan secara ekstensif. Ini merupakan pendapat yang tidak beralasan dan buta total serta menutupi karakteristik pertambangan yang sebenarnya, karena pendapat ini tidak pernah memikirkan bahwa ada beberapa tahapan berbeda dalam usaha pertambangan. Pertambangan sendiri merupakan rangkaian empat kegiatan utama eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta reklamasi.

Eksplorasi merupakan tahapan di mana dilakukan penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, kuantitas dan kualitas bahan tambang. Eksplorasi ini merupakan tahapan pertama yang memerlukan waktu dua hingga lima tahun dan berisiko tinggi. Perusahaan bisa saja menghentikan kegiatan karena tidak mendapatkan cadangan mineral yang ekonomis meski telah menghabiskan jutaan dolar.

Eksplorasi juga tidak akan menggunakaan keseluruhan luasan lahan karena lahan yang diperlukan hanyalah sebatas kebutuhan titik eksplorasi, akses masuk alat bor. Bahkan dengan teknologi canggih seperti seismic dan geophysics, mampu mengurangi jumlah titik bukaan secara signifikan, karena dapat mendeteksi keberadaaan endapan bahan tambang tanpa harus membuka lahan.

Pada tahapan eksploitasi tidak seluruh lahan tersebut akan dieksploitasi langsung. Dan rasanya sudah banyak laporan yang menyatakan bahwa seluruh kegiatan eksploitasi pertambangan berizin di Indonesia hanya membuka lahan 135.000 ha atau 0,1% luas seluruh wilayah hutan Indonesia.

Kedua, dalam pemilihan metode penambangan, muncul anggapan, kepentingan finansial lebih mendasari pemilihan metode open pit (tambang terbuka) dibanding underground. Perlu diketahui, ada banyak kriteria prinsip pemilihan metode penambangan. Tambang terbuka diterapkan untuk menambang cadangan yang letaknya dekat permukaan dengan terlebih dahulu membersihkan lahan dan batuan pengotor. Tambang terbuka ini memiliki produktivitas tinggi, cost operasi yang rendah dan keselamatan yang lebih terjamin.

Sedang tambang dalam (underground) hanya diterapkan untuk mendapatkan cadangan yang berada relatif jauh di bawah permukaan dengan hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan sebagai akses peralatan dan fasilitas pengolahan. Jadi proses pengambilan mineral dilakukan tanpa menggangu aktivitas permukaan. Namun perlu diketahui bahwa tambang ini rentan akan keselamatan kerja. Tidak ada satu manusia pun yang mampu memaksa bahwa endapan mineral itu berada dekat di bawah permukaan atau jauh di dalam.

Perspektif keliru yang ketiga adalah pernyataan semua kegiatan pertambangan merusak lingkungan. Pernyataan menyesatkan ini rasanya hampir selalu dilontarkan oleh pecinta lingkungan dan kaum conservationist. Rasanya bisa dimaklumi jika mereka yang mengatakan hal itu, dan juga rasanya kesalahan dari industri tambang juga yang rasanya kurang memeluk pemerhati lingkungan dan conservationist.

Anggapan ini tidak berdasar karena menggeneralisasi bahwa seluruh usaha pertambangan sifatnya destruktif tanpa melihat bahwa diwajibkannya reklamasi pada lahan eks tambang. Bahkan pada tahapan pengakhiran tambang (mining closure) juga diwajibkan memperbaiki lahan bukaan. Ada beberapa contoh perusahaan yang berhasil menjalankan hal ini seperti Kelian Eguatorial Mining di Kalimantan Timur.

Pertambangan tidak dipungkiri memang berpotensi menyebabkan gangguan terhadap lingkungan, termasuk fungsi lahan dan hutan. Tekanan yang besar terhadap lingkungan ini diakibatkan oleh perilaku beberapa kegiatan pertambangan yang memang harus dikoreksi serta ketidaktahuan masyarakat untuk memanfaatkan teknologi pertambangan yang benar. Keawaman ini memunculkan persepsi keliru terhadap pertambangan keseluruhan.

Adalah KTT Bumi (earth summit) Rio de Janeiro, 1992 menjadi salah satu tonggak perubahan mindset industri dunia termasuk di bidang pertambangan. Paradigma yang selama ini bertumpu pada pertumbungan ekonomi mulai diarahkan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu gagasan yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhannya.

Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di sektor pertambangan, perlu ada kebijakan penutupan tambang sejak awal sehingga mampu mendorong setiap aktivitas pertambangan mempunyai konsep penataan lahan bekas tambang agar aman dan tetap mempunyai fungsi lindung lingkungan.

Banyak orang yang hanya melihat pertambangan dari sisi kerusakan yang ditimbulkan, tanpa mau mengetahui bahwa di belakang semua aktivitas pertambangan harus selalu diakhiri dengan rangkaian kegiatan penutupan tambang yang memperhatikan faktor lingkungan, kesejahteraan masyarakat dan profit. Jadi selalu ada aktivitas reklamasi, revegetasi dan penanaman kembali lahan eks tambang.

Kekeliruan bahwa pertambangan tidak memiliki konsep kepedulian lingkungan ini yang masih menjadi rintangan banyak ekologist belum dapat menerima pertambangan sebagai aktivitas untuk kesejahteraan manusia. Sebagian bahkan memandang sebelah mata dan selalu melihat dengan preseden yang buruk.

Green Mining (tambang hijau), itulah konsep yang perlu dilakukan oleh pelaku dan praktisi pertambangan, sebagai suatu jembatan untuk dapat menyinergikan pertambangan dengan lingkungan. Karena dua hal ini pada dasarnya merupakan aktivitas manusia yang ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidupnya. Tambang tidak selalu bersifat merusak, adakalanya dampak yang ditimbulkan itu dapat menjadi berkah untuk kegiatan lain.

Tambang hijau bukan berarti pertambangan tidak bisa melakukan aktivitas penambangan dan pengerukan untuk mendapatkan profit, tetapi di situ ada nilai perlindungan dan penghargaan terhadap lingkungan dan masyarakat. Dengan menerapkan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat ini, bisa menjadi persyaratan suatu usaha pertambangan untuk dapat meneruskan aktivitas ke tingkat profit yang lebih tinggi.

Aceh dianugerahi Tuhan kekayaan sumberdaya alam yang besar. Jangan sampai berkah ini malah menjadi awal dari sebuah bencana akibat salah kelola. Kesadaran semua pihak sangat diperlukan bahwa sumberdaya mineral adalah terbatas, di mana pada banyak kasus kita berkesempatan hanya satu kali untuk memanfaatkannya. Strategi penuh kehati-hatian dan bijaksana dalam memanfaatkannya perlu diterapkan agar berkah ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat di Aceh.

* M.Yasir Surya adalah Sekjen Lembaga Pengembangan Studi dan Informasi Pertambangan Aceh (LPSIPA)