Izarul Machdar | Opini APA yang salah dengan implementasi kebijakan Aceh Green saat ini? Itu pertanyaan krusial yan...
Izarul Machdar | Opini
APA yang salah dengan implementasi kebijakan Aceh Green saat ini? Itu pertanyaan krusial yang perlu dialamatkan ke Pemda Aceh melihat rontoknya berbagai sumber penyangga lingkungan di provinsi ini. Mengapa tidak, sejak didengungkan sekitar 4 tahun yang lalu dengan tujuan menciptakan Green Economic Development and Investment Strategy for Aceh, hasilnya kini seperti apa yang dapat kita lihat dan rasakan bersama.
Apa yang dilihat realita di lapangan bak langit dan bumi. Semenjak strategi itu diberlakuan justru lebih banyak hutan Aceh yang bertambah bolong sana-sini, dengan laju kerusakan lebih 70 ribuan hektar per tahun, fantastik! (Grenomics).
Musibah banjir bandang di daerah ini sepertinya sudah langganan setiap tahun dan melanda di berbagai tempat. Banjir yang membawa gelondongan kayu bekas gergajian bak menunjuk kepada kita semua betapa keroposnya metode dan strategi pembangunan Aceh Green yang katanya berkelanjutan ini. Ditambah lagi aktivitas pertambangan mineral yang mengoyak hutan dan mengeruk dengan buas tanpa ada rasa belas kasihan dan tanpa ampun terhadap biodiversiti yang ada. Sampai-sampai segerombolan gajah dan beruang harus turun gunung untuk mengekspresi bahwa mereka terzalimi dan ingin mengatakan kepada kita semua “apakah anda punya etika pri-kebinatangan?” Sayangnya, si gajah dan beruang harus terbunuh hanya untuk membayar karena ada beberapa tanaman jagung yang patah atau lahan yang terinjak.
Apa yang salah terhadap semua ini? Program Aceh Green ditenggarai tidak komprehensif, koordinasi dengan dinas teknis dan Pemda Tingkat II berjalan kurang harmonis sehingga tidak terkoneksinya program di tingkat provinsi dan daerah tingkat II, serta metode sosialisasi pada level masyarakat paling bawah yang kurang tepat, ditambah lagi dengan masalah internal manajemen. Ini dapat dianalisis dari banyaknya kegiatan yang justru bertentangan dengan visi Aceh Green untuk menciptakan pembangunan dan investasi yang berkelanjutan. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah jumlah perizinan pertambangan mineral yang semakin meningkat sejak tahun 2008. Hingga kini saja, sudah terindikasi 108 izin eksplorasi maupun produksi dikeluarkan untuk berbagai perusahaan tambang baik emas, batubara, pasir besi beroperasi di Aceh. Dari jumlah tersebut, tahun 2010 saja ada 23 izin yang dikeluarkan di mana 15 izin untuk pertambangan emas yang bahkan sebagian berada di hutan lindung. Uniknya lagi, perizinan yang dikeluarkan tidak didukung oleh dokumen valuasi-ekonomi yang dapat menunjukkan bahwa aktifitas pertambangan mineral emas, batubara, dan pasir besi di Aceh memang menguntungkan bagi masyarakat luas. Dokumen valuasi-ekonomi berbeda dengan analisis finansial biasanya, karena memasukkan kriteria biaya kerusakan lingkungan dan biaya sosial lainya. Karena itu dapat diduga, aktivitas pertambangan di Aceh hanya menguntungkan perusahaan pertambangan itu sendiri termasuk oknum yang mengeluarkan izin. Tapi anehnya, isu ini selalu terbantahkan dengan alibi bahwa rakyat Aceh harus menjaga keamanan investor yang masuk ke Aceh. Memang pada akhirnya (setelah berbagai LSM lokal mengkritisi hal ini), gubernur Aceh harus memberi warning dan perintah evaluasi kembali terhadap izin-izin pertambangan mineral yang telah dikeluarkan oleh berbagai pihak terkait (Serambi, 1/5). Apa yang terjadi saat ini menguatkan hipotesis bahwa koordinasi antar pemangku kebijakan dari berbagai tingkatan pemerintahan di Aceh masih tidak sinkron di dalam menerjemahkan visi dan misi Green Investment Strategy versi Aceh Green. Tidak dipungkiri juga ego sektoral yang berakar dari lemahnya SDM menambah runyamnya strategi Aceh Hijau, yang pada akhirnya paradoks pembangunan itu terjadi di berbagai sudut propinsi ini.
Isu Hutan Aceh
Mengeroyok alam Aceh yang kaya ini bukan hanya dari lingkaran dalam semata. Tetangga jauh kita juga banyak yang “mengintip” dan “bermain” dengan menggunakan berbagai isu lingkungan yang patut dijual dan berlagak membantu orang Aceh. Gaya membantu ini yang sering kali kita tertipu. Padahal kita tahu, tak ada yang gratis di dunia ini. No free lunch, man!, kata mereka.
Kita ambil satu contoh paling anyar bagaimana cerdiknya Carbon Conservation dan konco-konconya (yang membawa mereka ke Aceh) memainkan isu hutan Aceh di dunia bisnis saham pertambangan internasional. Carbon Conservation, sebuah perusahaan broker karbon asal Australia menjadikan hutan Aceh sebagai agunan untuk menumpuk pundi-pundi bagi dirinya sendiri. Mereka menggunakan perjanjian kerja sama pemasaran dan penjualan karbon kredit hutan Aceh dengan Pemerintah Aceh dijadikan aset dalam bertransaksi saham dengan EAMC (East Asia Minerals Corporation), perusahan pertambangan berbasis di Kanada. Dari hasil perjanjian dengan EAMC, Carbon Conservation mendapat bayaran hampir Rp5 miliar dan mendapat jatah 2,5 juta lembar saham. Kita bertanya sekarang, untuk transaksi ini Aceh dapat apa? Kok bisanya Aceh yang punya hutan, orang lain yang dapat benefit. Hutan kita yang jaga, hutan kita yang rawat, giliran benefit, si bule yang nikmati. Jawaban dari semua ini tepatnya mungkin bisa dikonfirmasi kepada siapa yang membawa agen lingkungan yang tak beretika ini ke Aceh.
Bermain dengan isu-isu hutan Aceh bagi NGO internasional bukan hanya keahlian Carbon Conservation saja. Ambil saja contoh program AFEP (Aceh Forest Environment Project). Proyek yang dikeroyok oleh dua NGO asing untuk kawasan Kawasan Ekosistem Ulu Masen untuk Kawasan Ekosistem Leuser menghabiskan biaya lebih kurang Rp175 miliar yang dilakukan selama empat tahun sejak 2006. Apa yang mereka hasilkan untuk kemanfaatan masyarakat di sekitar hutan Aceh dengan uang yang sebegitu besar? Hitung-hitung mereka per hari mereka harus menghabiskan dana hampir sebesar Rp120 juta. Kalau memasukkan perhitungan economi-balance, tentu saja uang yang berputar sebesar itu di kawasan Ekosistem Ulu Masen dan Leuser sudah cukup untuk menahan penduduk tidak menebang hutan lagi.
Kenyataannya, masyarakat tetap mengambil kayu hutan untuk menopang hidup. Jadi, kesimpulannya benefit proyek bagi pengelola proyek. Mereka hanya menjual isu penyelamatan hutan Aceh untuk mendukung keberlanjutan organisasinya, bukannya keberlanjutan lingkungan hidup. Itu saja niatnya.
Sejalan dengan Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2011 yang dikeluarkan oleh UNEP (United Nations Environment Programme) adalah “Forests: Nature At Your Service”, tentunya Pemda Aceh harus mengintrospeksi diri lagi, sudahkah metode penyelamatan hutan yang dilakukan sekarang ini (berbasis Aceh Green) memang dapat mendukung keberlanjutan hutan Aceh. Tak cukup mengandalkan agen-agen lingkungan kerah putih mancanegara yang memang terbukti hanya bussiness-oriented. Kita perlu menggali metode kearifan lokal bagaimana endatu kita dulu melindungi hutan. Tentu saja komitmen semua pihak dan penegakkan hukum menjadi tulang punggung menjadikan hutan Aceh lestari. Kita tunggu.
Apa yang dilihat realita di lapangan bak langit dan bumi. Semenjak strategi itu diberlakuan justru lebih banyak hutan Aceh yang bertambah bolong sana-sini, dengan laju kerusakan lebih 70 ribuan hektar per tahun, fantastik! (Grenomics).
Musibah banjir bandang di daerah ini sepertinya sudah langganan setiap tahun dan melanda di berbagai tempat. Banjir yang membawa gelondongan kayu bekas gergajian bak menunjuk kepada kita semua betapa keroposnya metode dan strategi pembangunan Aceh Green yang katanya berkelanjutan ini. Ditambah lagi aktivitas pertambangan mineral yang mengoyak hutan dan mengeruk dengan buas tanpa ada rasa belas kasihan dan tanpa ampun terhadap biodiversiti yang ada. Sampai-sampai segerombolan gajah dan beruang harus turun gunung untuk mengekspresi bahwa mereka terzalimi dan ingin mengatakan kepada kita semua “apakah anda punya etika pri-kebinatangan?” Sayangnya, si gajah dan beruang harus terbunuh hanya untuk membayar karena ada beberapa tanaman jagung yang patah atau lahan yang terinjak.
Apa yang salah terhadap semua ini? Program Aceh Green ditenggarai tidak komprehensif, koordinasi dengan dinas teknis dan Pemda Tingkat II berjalan kurang harmonis sehingga tidak terkoneksinya program di tingkat provinsi dan daerah tingkat II, serta metode sosialisasi pada level masyarakat paling bawah yang kurang tepat, ditambah lagi dengan masalah internal manajemen. Ini dapat dianalisis dari banyaknya kegiatan yang justru bertentangan dengan visi Aceh Green untuk menciptakan pembangunan dan investasi yang berkelanjutan. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah jumlah perizinan pertambangan mineral yang semakin meningkat sejak tahun 2008. Hingga kini saja, sudah terindikasi 108 izin eksplorasi maupun produksi dikeluarkan untuk berbagai perusahaan tambang baik emas, batubara, pasir besi beroperasi di Aceh. Dari jumlah tersebut, tahun 2010 saja ada 23 izin yang dikeluarkan di mana 15 izin untuk pertambangan emas yang bahkan sebagian berada di hutan lindung. Uniknya lagi, perizinan yang dikeluarkan tidak didukung oleh dokumen valuasi-ekonomi yang dapat menunjukkan bahwa aktifitas pertambangan mineral emas, batubara, dan pasir besi di Aceh memang menguntungkan bagi masyarakat luas. Dokumen valuasi-ekonomi berbeda dengan analisis finansial biasanya, karena memasukkan kriteria biaya kerusakan lingkungan dan biaya sosial lainya. Karena itu dapat diduga, aktivitas pertambangan di Aceh hanya menguntungkan perusahaan pertambangan itu sendiri termasuk oknum yang mengeluarkan izin. Tapi anehnya, isu ini selalu terbantahkan dengan alibi bahwa rakyat Aceh harus menjaga keamanan investor yang masuk ke Aceh. Memang pada akhirnya (setelah berbagai LSM lokal mengkritisi hal ini), gubernur Aceh harus memberi warning dan perintah evaluasi kembali terhadap izin-izin pertambangan mineral yang telah dikeluarkan oleh berbagai pihak terkait (Serambi, 1/5). Apa yang terjadi saat ini menguatkan hipotesis bahwa koordinasi antar pemangku kebijakan dari berbagai tingkatan pemerintahan di Aceh masih tidak sinkron di dalam menerjemahkan visi dan misi Green Investment Strategy versi Aceh Green. Tidak dipungkiri juga ego sektoral yang berakar dari lemahnya SDM menambah runyamnya strategi Aceh Hijau, yang pada akhirnya paradoks pembangunan itu terjadi di berbagai sudut propinsi ini.
Isu Hutan Aceh
Mengeroyok alam Aceh yang kaya ini bukan hanya dari lingkaran dalam semata. Tetangga jauh kita juga banyak yang “mengintip” dan “bermain” dengan menggunakan berbagai isu lingkungan yang patut dijual dan berlagak membantu orang Aceh. Gaya membantu ini yang sering kali kita tertipu. Padahal kita tahu, tak ada yang gratis di dunia ini. No free lunch, man!, kata mereka.
Kita ambil satu contoh paling anyar bagaimana cerdiknya Carbon Conservation dan konco-konconya (yang membawa mereka ke Aceh) memainkan isu hutan Aceh di dunia bisnis saham pertambangan internasional. Carbon Conservation, sebuah perusahaan broker karbon asal Australia menjadikan hutan Aceh sebagai agunan untuk menumpuk pundi-pundi bagi dirinya sendiri. Mereka menggunakan perjanjian kerja sama pemasaran dan penjualan karbon kredit hutan Aceh dengan Pemerintah Aceh dijadikan aset dalam bertransaksi saham dengan EAMC (East Asia Minerals Corporation), perusahan pertambangan berbasis di Kanada. Dari hasil perjanjian dengan EAMC, Carbon Conservation mendapat bayaran hampir Rp5 miliar dan mendapat jatah 2,5 juta lembar saham. Kita bertanya sekarang, untuk transaksi ini Aceh dapat apa? Kok bisanya Aceh yang punya hutan, orang lain yang dapat benefit. Hutan kita yang jaga, hutan kita yang rawat, giliran benefit, si bule yang nikmati. Jawaban dari semua ini tepatnya mungkin bisa dikonfirmasi kepada siapa yang membawa agen lingkungan yang tak beretika ini ke Aceh.
Bermain dengan isu-isu hutan Aceh bagi NGO internasional bukan hanya keahlian Carbon Conservation saja. Ambil saja contoh program AFEP (Aceh Forest Environment Project). Proyek yang dikeroyok oleh dua NGO asing untuk kawasan Kawasan Ekosistem Ulu Masen untuk Kawasan Ekosistem Leuser menghabiskan biaya lebih kurang Rp175 miliar yang dilakukan selama empat tahun sejak 2006. Apa yang mereka hasilkan untuk kemanfaatan masyarakat di sekitar hutan Aceh dengan uang yang sebegitu besar? Hitung-hitung mereka per hari mereka harus menghabiskan dana hampir sebesar Rp120 juta. Kalau memasukkan perhitungan economi-balance, tentu saja uang yang berputar sebesar itu di kawasan Ekosistem Ulu Masen dan Leuser sudah cukup untuk menahan penduduk tidak menebang hutan lagi.
Kenyataannya, masyarakat tetap mengambil kayu hutan untuk menopang hidup. Jadi, kesimpulannya benefit proyek bagi pengelola proyek. Mereka hanya menjual isu penyelamatan hutan Aceh untuk mendukung keberlanjutan organisasinya, bukannya keberlanjutan lingkungan hidup. Itu saja niatnya.
Sejalan dengan Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2011 yang dikeluarkan oleh UNEP (United Nations Environment Programme) adalah “Forests: Nature At Your Service”, tentunya Pemda Aceh harus mengintrospeksi diri lagi, sudahkah metode penyelamatan hutan yang dilakukan sekarang ini (berbasis Aceh Green) memang dapat mendukung keberlanjutan hutan Aceh. Tak cukup mengandalkan agen-agen lingkungan kerah putih mancanegara yang memang terbukti hanya bussiness-oriented. Kita perlu menggali metode kearifan lokal bagaimana endatu kita dulu melindungi hutan. Tentu saja komitmen semua pihak dan penegakkan hukum menjadi tulang punggung menjadikan hutan Aceh lestari. Kita tunggu.
* Izarul Machdar adalah Ketua Divisi Research Aceh Climate Change Initiative (ACCI). Dosen Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala.