HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Jangan Mati Sebelum Berkuasa

OPINI | MUHIBUDDIN HANAFIAH JUDUL di atas dikutip dari catatan pengantar Marwah Daud Ibrahim, cendekiawati Muslim Indonesia, pada buku k...

OPINI | MUHIBUDDIN HANAFIAH

JUDUL di atas dikutip dari catatan pengantar Marwah Daud Ibrahim, cendekiawati Muslim Indonesia, pada buku karya pemikir politik Muslim terkemuka; al-Mawardi-adab al Dunya wa al-Din yang diterjamahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Kuasa Dunia”.

Awalnya saya pikir, apa yang dimaksudkan Marwah pada kalimat “berkuasa” dalam pengantarnya itu adalah kekuasaan politik semata. Saya kira kita semua menduga bahwa arah tulisan tersebut pasti menyangkut perihal kekuasaan politik yang tak pernah sepi dari ingar-bingar, gonjang-ganjing, bahkan dalam konteks lokal di Aceh, akan berlangsung pilkada. Dimaklumi juga, Marwah sendiri adalah politikus praktis semenjak era Orde Baru, terutama di Partai Golkar dan ICMI yang keduanya telah membesarkan Marwah. Tetapi, setelah membaca catatan pengantar itu, dugaan awal tadi ternyata tidak sepenuhnya benar. Karena yang dimaksudkan dengan “kuasa” di sana adalah kekuasaan pada semua lini kehidupan, seperti kemakmuran ekonomi berupa kesejahteraan, sehingga mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tidak tergantung secara penuh pada pihak lain.

Demikian juga kemajuan di bidang pendidikan, ketinggian budaya dan peradaban, kemapanan dalam tatasan kehidupan sosial, dan terakhir kestabilan politik.  

Tetapi sungguh disayangkan, semua bentuk kekuasaan yang diharapkan di atas tidak terjadi pada umat Islam sekarang ini. Ketika mencermati realitas demikian itulah, sepanjang pengantarnya itu, Marwah mempertanyakan apa yang salah dengan umat Islam? Bagaimana peran agama dalam memberikan spirit dan dorongan agar pelbagai keterbelakngan yang dialami umat Islam cepat terselesaikan. Ajaran Islam yang dipegang, dipercaya dan diyakini kebenarannya belum juga mampu mengantar kaum muslimin untuk menguasai dunia. Mengapa dan ada apa dengan kaum muslimin sekarang tidak “berkuasa” lagi?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Marwah sendiri mengaku kesulitan menemukan penyebabnya. Marwah mengatakan; tentu saja hal ini bukan perkara “gampang” untuk menjelaskan secara gamblang. Dengan menggunakan pendekatan normatif-sosiologis (studi yang melihat bagaimana sesungguhnya norma Islam gagal memberikan respons memadai bagi tumbuhnya masyarakat mapan, maju, sejahtera, makmur dan mandiri), maka jawaban sementara yang dapat diberikan menurut Marwah adalah karena formasi sosial umat Islam tidak memperdulikan dan merealisasikan teks sumber ajaran Islam yang dapat menggerakkan umat Islam untuk bangkit dan maju (berkuasa).

Sependapat dengan Marwah, sesungguhnya secara normatif perbincangan Islam sebagai agama penyokong kesejahteraan dapat dijumpai dalam banyak ayat Alquran. Paling tidak ada lima ayat dalam Alquran, masing-masing QS. Al-Qashshash: 77, al-Jumuah 10, al-Insyirah: 7, al-Najm: 39, dan Fushshilat: 46, yang secara jelas membicarakan bagaimana umat Islam harus mensejahterakan diri, keluarga dan masyarakatnya. Ajaran ini diterjemahkan menjadi kewajiban untuk membagi rizki dan kesempatan kerja kepada sesama. Konsep kesejahteraan seperti ini memiliki relevansi dengan konsep keadilan dan penuntasan kemiskinan dalam masyarakat muslim. Dengan demikian, secara tekstual ajaran Islam mewajibkan pemeluknya memiliki etika kepemilikan untuk mencapai kesejahteraan. Etika kepemilikan dimaksud didasarkan pada tiga prinsip. Hal ini sebagaimana yang dirumuskan oleh ahli fiqih. Pertama, jaminan terhadap hak untuk memiliki dan mengumpulkan harta, dengan catatan tidak berlebihan. Isyarat ini dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah: 29 dan al-Nisa: 29. Kedua, prinsip kewajiban bekerja (beramal) atau beribadah, prinsip ini dapat dilihat dalam QS. Al-Baqarah: 105, 286 dan al-Mulk: 15. Ketiga, prinsip memperoleh kesempatan yang sama, tanpa unsur kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dan prinsip ini juga dapat dicermati pada QS. Al-Baqarah: 275, Ali Imran: 130, dan al-Nisa: 161. Karena itu, kaedah sejahtera dalam Islam dapat dijumpai dengan berbagai pendekatan. Hasbi al-Shiddiqy (1996) menyebutkan ada lima cara; (1) menyeru pada kehidupan riil, (2) mengamalkan kebaikan, (3) menyuruh orang untuk berbuat baik, (4) mencegah berbuat jahat serta (5) mempergunakan akal dan ilmu pengetahuan secara berkelanjutan.

Namun persoalan kemudian adalah kekayaan pada basis teks ini ternyata tidak serta menjadikan kaum muslimin menggerakkan dirinya mencapai masyarakat yang sejahtera. Karena terdapat jarak yang jauh antara teks dan agen (pemeluk). Secara umum umat Islam mengalami satu fase panjang dengan peradabannya yang gelap. Era ini sering disebut dimulai sejak kaum muslimin tidak lagi menggalakkan kegiatan berfikir kritis (ijtihad), menguatnya taqlid dan takhyul irasional, pemujaan pada masa lalu (romantisme) dan asketisme. Kemudian diperparah dengan munculnya rezim otoritarian dan despotis yang mengekang kreatifitas umat, menguatnya sektarianisme primordial yang sempit, serta tumbuh suburnya kultus individu dan dogma-dogma yang didoktrinkan. Beberapa penyebab inilah menurut Marwah yang menjadi alasan mengapa teks dan norma-norma Islam tidak mampu mempengaruhi umat maupun struktur (negara) dan forma sosial (lingkungan) untuk mewujudkan masyarakat sejahtera (welfare society). Sebaliknya, ketika kaum muslimin belum mampu membebaskan diri dari “penyakit” yang mengungkunginya, maka sulit bagi mereka merebut kekuasaan di berbagai bidang kehidupan. Akibat lebih jauh adalah wujud nyata masyarakat sejahtera, sebagai gambaran ideal masyarakat Islam, terlampau sulit dihadirkan.

Terlepas dari argumentasi tentang hal-ikhwal penyebab tidak berkuasanya umat Islam dewasa ini, ada satu sisi menarik lain yang terdapat dalam ulasan Marwah. Yaitu, gaya kalimat pada judul yang digunakan untuk menjelaskan gagasannya, “jangan mati sebelum berkuasa”. Gaya bahasa semacam ini mengingatkan kita pada gaya bahasa yang dipakai khatib di mimbar Jumat  ketika menyampaikan pesan taqwa kepada para jamaah, yaitu “jangan sekali-kali anda mati sebelum beriman”. Kalimat suci yang menjadi rukun khutbah jumat di mimbar itu menurut saya sangat inspiratif. Saya tidak tahu apakah Marwah merumuskan judul pengantar buku ini-”Jangan Mati Sebelum Berkuasa”--terinspirasi dari pesan sang khatib dimaksud? Tetapi paling tidak, melihat pada gaya judul yang demikian rupa, sebagai seorang intelektual muslim yang akrab dengan ajaran agamanya, maka tidak menutup kemungkinan ia terinspirasi dari hal itu. Kendati demikian, tidak ada salahnya bila pola kalimat seperti di atas, digunakan oleh politisi untuk menggiring opini publik pada makna yang berbeda sebagaimana diinginkan. Seperti jangan mati sebelum berhasil meraih kekuasaan politik, misalkan pemimpin atau anggota partai politik tertentu, anggota legislatif, berkuasa di jajaran eksekutif; menjadi presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, dankalau di Aceh bakal ada jbatan politis lainnya seperti wali nanggroe/wakil wali nanggroe, dan lain sebagainya.

Akhirnya, kalaulah terlahir dikodratkan untuk berkuasa (menjadi khalifah) dalam aspek dan ruang lingkup yang disanggupi, maka gunakanlah kodrat itu dengan baik dan benar, serta bertanggungjawab. Jangan sia-siakan kesempatan untuk berkuasa, karena ia sekali saja seumur hidup kita. Karena itu, berkuasalah sebelum mati dan jangan mati sebelum berkuasa. Sebab, berkuasa bagian dari hidup kita. Nah!

* Penulis adalah dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.