HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Dampak Korupsi bagi Investasi

Azhari Yahya | OPINI Tak terbantahkan bahwa berbagai media massa di Indonesia baik media cetak maupun media elektronik selalu saja tida...

Azhari Yahya | OPINI


Tak terbantahkan bahwa berbagai media massa di Indonesia baik media cetak maupun media elektronik selalu saja tidak pernah terlewatkan dari liputan-liputan berita seputar korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di seantero nusantara, baik itu korupsi kelas kakap maupun korupsi kelas teri.


Terlepas dari benar tidaknya berbagai dugaan korupsi di tanah air, tulisan ini tidak bermaksud untuk menguraikan lebih detail kasus-kasus korupsi, tetapi ingin menjelaskan bagaimana imej korupsi bisa mempengaruhi para investor asing dalam memilih negara tujuan investasinya.


Banyak di antara kita mungkin kurang menyadari bahwa kemelut korupsi yang terus terjadi di negeri ini selalu menjadi objek pantauan pihak investor asing. Pantauan ini bagi mereka sangat perlu karena menyangkut pembuatan keputusan dalam memilih negara tujuan investasi. Dalam teori investasi yang dipelopori John Dunning (1993), misalnya, disebutkan salah satu faktor yang sangat perlu diperhatikan oleh seorang investor sebelum memulai menanam modalnya di negara tujuan adalah memastikan dulu apa saja keunggulan lokal yang bisa ditawarkan oleh negara tujuan investasi kepada pemilik modal.


Salah satu keunggulan lokal yang sangat menjadi perhatian adalah negara tujuan investasi harus bebas korupsi, atau paling kurang minim korupsi. Lebih lanjut Dunning menjelaskan kalau ada dua negara tujuan investasi, yang satu kaya dengan sumber daya alam tapi sangat tinggi tingkat korupsinya, dan yang satu lagi minim sumber daya alam tapi bebas atau minim korupsi, maka Dunning menyarankan untuk memilih tipe negara yang kedua.


Alasan Dunning sangat masuk akal tentunya. Kalau korupsi terus menjadi bagian dari budaya setempat, sebanyak apa pun sumber daya alam yang dimilikinya suatu ketika pasti akan lenyap karena ulah para koruptor. Logikanya, kalau dana investasi dialirkan ke negara tipe pertama, hampir bisa dipastikan lambat laun modal investor pun bisa lenyap. Dalam hal ini bagi Dunning, korupsi dianggap sebagai penyakit kronis dalam dunia investasi.


Karena itu tidak heran kalau para pemilik modal asing ketika menoleh matanya ke Asia, lebih cenderung menanamkan modalnya masuk ke Cina, India, Singapura dan Malaysia, dibandingkan Indonesia. Di samping memiliki keunggulan lokal yang lebih dibandingkan Indonesia, negara-negara ini juga memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah.


 Belajar dari Singapura
Dalam beberapa laporan resmi tahun 2007, 2008 dan 2009 yang dikeluarkan oleh the United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) terus menerus tercatat bahwa jumlah investasi asing ke Indonesia masih kurang menggembirakan. Bahkan jumlahnya masih jauh di bawah Singapura, negara yang jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Lihat saja, misalnya, di tahun 2007 jumlah invetasi asing yang masuk ke Singapura mencapai angka 35.778 juta dolar Amerika, sedangkan yang masuk ke Indonesia hanya 6.928 juta dolar Amerika. Tahun 2008, Singapura mampu meraup investasi asing sebesar 10.912 juta dolar Amerika, sementara Indonesia yang begitu besar negaranya hanya mampu meraup 9.318 juta dolar Amerika.


Pada tahun 2009, Singapura mampu melaju ke angka 16.809 juta dolar Amerika, sedangkan Indonesia hanya terpaut pada angka 4.877 juta dolar Amerika. Angka ini juga sekaligus memberi sinyal bahwa pada tahun 2009 ini Indonesia mengalami pertumbuhan investasi negatif sebesar 52,34% dari tahun sebelumnya. Data 2010 juga menunjukkan bahwa angka investasi Singapura tetap melejit jauh dibandingkan Indonesia. Lalu apa pelajaran yang bisa kita ambil dari keberhasilan Singapura ini?


Banyak penelitian yang dilakukan untuk menjawab dan membuka tabir rahasia ini. Salah satunya dilakukan oleh PERC (Political Economic Risk Cosultancy), lembaga survei yang berbasis di Hongkong pada tahun 2009-2010. Kesimpulan PERC bahwa Singapura merupakan negara bebas korupsi dan bersih dari segala bentul kolusi dan nepotisme untuk kelas Asia. Ini sebuah imej positif yang berhasil dibangun Singapura. Imej itu memang dari dulu ingin dibangun oleh pemimpin negara ini untuk menarik sebanyak mungkin investor asing. Ternyata imej bebas korupsi ini mampu menjadi magnet besar untuk menarik investor asing masuk ke negara yang minim sumber daya alam ini.


 Pelajaran untuk Aceh
Untuk konteks Aceh, banyak sekali pelajaran yang bisa diambil untuk diaplikasi dalam kebijkan publik Pemerintah Aceh. Di antaranya, Aceh perlu memastikan diri bebas dari segala bentuk korupsi dan segala bentuk pungutan liar lainnya terutama yang berhubungan dengan investasi asing. Ini merupakan kunci utama untuk meraih kesuksesan dalam menarik investor asing masuk ke bumi Serambi Mekkah ini. Dari segi sumber daya alam, Aceh sebenarnya jauh lebih unggul dibandingkan Singapura, tetapi kita tidak ada apa-apanya dibandingkan Singapura dalam hal penerimaan investasi asing. Kenapa ini terjadi? Sebab, Aceh belum mampu menciptakan imej “Aceh bebas korupsi” di mata investor asing sebagaimana yang berhasil dibangun Singapura. Imej ini jangankan terpatri ke benak investor asing, ke benak masyarakat kita sendiri juga belum melekat.


Karena itu, sudah saatnya Pemerintah Aceh bekerja keras untuk memberantas korupsi dari semua lini mulai dari tingkat atas sampai bawah seperti yang dipraktikkan oleh Singapura. Singkatnya, pemberantasan korupsi merupakan kunci awal untuk menarik investor asing datang ke Aceh. Kalau korupsi masih saja terjadi, hampir bisa dipastikan investor asing akan enggan menanam modalnya di bumi Aceh ini.


Sudah semestinya upaya pemberantasan korupsi ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Tugas berat ini bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga hukum seperti kepolisian, pengadilan, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi saja. Ia menjadi tanggung jawab semua lini aparatur pemerintahan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, bahkan hingga ke pedesaan. Tidak hanya itu, civil society juga perlu mengambil peran sesuai dengan porsinya masing-masing untuk mengontrol jalannya pemerintahan sehingga tidak terjadinya yang namanya penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan yang berujung pada kerugian negara.


Di samping itu, dunia usaha/pelaku bisnis selaku motor penggerak ekonomi nasional juga perlu mengambil peran serta dalam upaya pemberantasan korupsi ini dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam segala jenis transaksinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam berbagai literatur yang ada, dunia usaha ini juga merupakan salah satu pilar dari tiga pilar utama pemberantasan korupsi, nyakni aparatur pemerintahan beserta perangkatnya, pelaku bisnis dan civil society.


Jika saja ketiga pilar ini di Aceh berkerja saling bersinergi satu sama lain saya yakin imej “Aceh bebas korupsi” akan mampu kita bangun dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kalau ini terwujud tidak mustahil kita juga bisa bangkit lebih cepat seperti bangkitnya Singapura hari ini di mana modal asing dijadikan sebagai lokomotif utama pembangkit ekonomi nasional yang berujung pada kemakmuran bersama. Semoga saja!


* Azhari Yahya adalah dosen Fakultas Hukum Unsyiah. Kandidat Doktor di Monash University, Australia.